October 18, 2013

Choose One: Realistic or Idealist?


Aku dengan pikiranku berusaha bekerja sama, sedang berpikir bagaimana, ya, jika kita mengambil keputusan dan ternyata kita salah mengambil langkah? Pasti kalian menjawab dalam hati, “Ya dijadikan pelajaran aja, sih.”

Hingga akhirnya aku mencoba bertanya kepada seorang teman. Mencari petunjuk, mungkin dapat menjadi hal yang bisa aku pertimbangkan. Kemudian, dia menyuruhku untuk memilih salah satu dari ‘Realistis atau Idealis’. Kurang lebih percakapan kami seperti ini:

“Realistis ya realistis. Idealis itu menuruti apa kata maumu,”
Which one is better according to you?”
“Aku suka realistis. Jadi, aku nggak memaksa. Aku tetap usaha tetapi aku biasa aja,”
“Dimana-mana harus realistis, kan, ya,”
“Nggak juga. Aku kalau masih merasa bisa, ya, memilih idealis. Aku tidak mau mendengar kata orang. Karena, realistis terdengar seperti menyerah. Aku tidak suka menyerah kalau aku masih bisa berdiri,”
“Meskipun kadang idealis bakal menjatuhkanmu? Atau bahkan yang malah membuatmu terpaksa untuk menyerah?”
“Ya. Mending mana, menyerah tetapi sudah usaha, atau menyerah karena apa kata orang?”

Lalu, otakku berusaha mencari jawaban.


Realistis memang perlu. Tetapi, kalau terlalu sering menuruti kenyataan, bagaimana mendapatkan apa yang kamu mau?

Realistis kadang membuat matamu menjadi terbuka, lebih berkawan dengan kenyataan. Tetapi, kebanyakan orang beranggapan bahwa menerima kenyataan itu menyakitkan. Ya, jelas. Kalau kenyataan tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan, pasti akan menambah sesak di dada. Kalau sesuai? Tentu saja kita menerima kenyataan dengan senang hati.

Because reality hurts, sometimes.

Sebaliknya, mungkin idealis terdengar agak egois. Seperti kita memaksakan kehendak kita, tidak perduli dengan kenyataan yang ada. Namun, ternyata idealis itu perlu. Setiap orang pasti mempunyai keinginan yang di cita-citakan, bukan?

Dan seharusnya, realistis dan idealis berjalan seimbang.

Yang kuhadapi saat ini, seperti aku sedang menggenggam sebuah balon di ladang yang luas dan angin bolak-balik menghembuskan nafasnya ke arah kami. Kata orang-orang yang berlalu-lalang didepanku, “Sudah! Lepaskan saja! Toh, kamu akan mendapatkan balon yang lebih bagus setelah pergi dari sana.” Tetapi, aku sudah terlanjur jatuh hati dengan balon ini. Soalnya berbeda, sih. Dan aku memilih untuk idealis. Tidak perduli seberapa banyak orang-orang yang memaksaku.

Namun, sepertinya balon ini juga ingin pergi. Berkelana di udara. Setidaknya melakukan perjalanan, mungkin. Aku sedikit menyerah. Tetapi, rasanya terlalu susah untuk melepaskan genggamanku. Aku saja tidak tahu, sebenarnya balon ini masih ingin kugenggam atau tidak? Lama-kelamaan aku berusaha realistis. Aku melepaskan genggamanku, membiarkannya pergi bersama angin. Apabila kembali, mungkin ia merindukanku. Dan jika tidak, mungkin aku akan menyukai balon yang –berbeda- lainnya. Walaupun, itu tidak akan pernah sama. 

Dan aku akan siap menggenggammu lagi, mungkin tidak sekuat dulu, itupun apabila angin berbaik hati membawamu kembali.

October 16, 2013

Takut?


Pernah nggak, sih, membayangkan bagaimana indahnya hidup, tanpa perlu merasa ketakutan? Aku sering membayangkannya. Berulang kali malah. Rasanya pasti tidak ada beban. Aku sering merasa ketakutan. Terutama ketakutan akan kehilangan orang-orang. Aneh memang, padahal sebenarnya orang-orang tidak sepenuhnya pergi dari kehidupan kita.

Aku selalu takut. Kalian takut, nggak? Kalau tiba-tiba orang yang selama ini menemani kamu, selalu ada untukmu, membagi ceritanya denganmu, pergi? Bagaimana kalo sesaat dia datang dan beberapa waktu kemudian dia menghilang? Seperti tidak ada yang benar-benar menjanjikan bahwa mereka tidak akan pergi.

Aku butuh orang yang menjanjikanku bahwa mereka tidak akan pergi. Aku selalu merasa kacau dengan pikiranku, bagaimana jika orang-orang malah meninggalkanku karena aku terlalu sibuk menahan mereka?

Awalnya, kupikir aku hanya bisa melihat orang-orang pergi dan tidak bisa berbuat apa-apa. Dan ternyata, aku salah. Seorang teman menyadarkanku, kurang lebih dia berkata seperti ini;

Yang pergi itu pasti kembali. Kalau yang hilang, itu yang harus dicari.

Then, I realized. Aku masih bisa mempertahankan orang-orang untuk tetap tinggal. Pada awalnya, aku tidak sepenuhnya percaya dengan kata-kata itu. Hingga akhirnya, aku mencari salah satu orang yang –menurutku- pergi. Dan ternyata, dia kembali. Lalu, aku menyuruhnya untuk tidak pergi. Yah, sekedar memberitahunya bahwa aku benar-benar membutuhkannya. Aku membutuhkan orang-orang yang berada disekitarku. Aku butuh mereka meyakinkanku bahwa mereka tidak akan meninggalkanku. Karena aku butuh mereka, se simple itu.

September 1, 2013

Because everyone leaves.


Hai, sepertinya sudah terlalu lama aku tidak berbagi disini. Bukannya aku tidak punya waktu atau sok menyibukkan diri, tapi karena mungkin aku terlalu memendamnya sendirian. Akhir-akhir ini, aku sering sekali memikirkan keadaan orang-orang di sekitarku. Ya, aku memikirkan mereka, sangat memikirkan mereka. Even when I know that they won’t do the same thing, well it sounds stupid lol. Aku memang terlalu menyia-nyiakan waktuku ini untuk berpikir tentang orang-orang. Rasanya takut sekali kehilangan mereka. Hampir setiap malam aku selalu berpikir hal sekonyol ini. Aku meragukan mereka akan tetap tinggal. Everyone leaves, right?

Kita tidak bisa, kan, melarang ataupun memaksa mereka untuk tetap ada. Iya, iya, aku tau. Aku tau, aku telah membahas hal ini beratus-ratus kali di dalam otakku. Sering terjadi khayalan pada pikiranku. Bagaimana mereka membuatku tertawa, sampai bagaimana nanti mereka akan pergi. Kalau boleh jujur, sih, aku takut sekali mereka pergi. Semakin banyak orang yang masuk ke dalam kehidupanku, semakin takut juga aku kehilangan mereka satu persatu. Memang, sih, aku juga pasti pernah pergi dari kehidupan orang lain. Dan merasakan berada di posisi takut kehilangan itu ironis.

Aku berharap aku tidak egois kalau aku meminta mereka semua untuk tidak pergi. Nyatanya? Aku terlalu egois. Aku tidak berhak, bukan? Aku hanya sekedar takut, ya, kan? Biasanya, sih, ketakutan kalau dipikirkan terus akan jadi kenyataan. Kuharap kali ini Tuhan tidak mengabulkan ketakutanku. Bagaimana jadinya kalau semua yang ada di dalam pikiranku saat ini menjadi kenyataan. Aku belum siap kehilangan mereka semua. Aku belum siap kehilangan lagi. Karena melihat orang-orang pergi itu menyedihkan, rasanya seperti ada yang hilang, dan hampa.

Aku berusaha untuk berpikir kalau semisal orang-orang tersebut memang diperuntukkan untuk aku, pasti Tuhan akan menjaga mereka untukku juga, bukan? Oh, ya, aku baru ingat ketika seorang sahabat berkata padaku, kalau tidak salah begini, “Kan kamu waktu itu bilang, kita ga perlu tau, orang butuh kita atau nggak, yang penting kita ada untuk mereka.” Lucu sebenarnya, aku yang dulu pernah berkata seperti itu malah khawatir seperti ini. Hahaha. Ah, ini hal biasa, kok. Semua orang pasti takut kehilangan, kan?

Anyway, beberapa orang berjanji padaku bahwa mereka tidak akan pernah pergi. Terasa menyenangkan kalau diingat, setidaknya, mereka masih ada selagi aku juga bersama mereka. Oh, aku juga ingat sesuatu, he promised me that he wouldn’t go.. Actually, I couldn’t believe it at all. Everyone will leave, sooner or later. But, if he means it, he won’t break his promise. And I swear, I’ll try to be there for everyone.

Hey, thanks for making me feel like I’m not that totally alone.

June 16, 2013

Actually, I wish I did exist.


Sepertinya aku sudah terlalu lama tenggelam dalam kenyataan, hingga rasanya mau kembali bermimpi saja sangat susah. Kabar baiknya, bisa dibilang semakin lama, semakin membaik. 5 bulan yang lalu ada seseorang yang datang lalu membuat semuanya membaik. I've been feeling better since he came. Dia menyenangkan, sosok pribadi yang baik, dan tidak pernah gagal membuatku tertawa. Sejak awal, aku menyayangi semua orang yang mungkin diperuntukkan untukkku, bagaimanapun keadaan mereka.

Well, aku tau banyak orang di sekelilingku yang bisa membuatku tertawa kapan saja. Tapi aku tidak pernah bisa merasa puas. Aku selalu merasa sendiri, seperti hampa sekali. Mungkin aku memang terlihat baik-baik saja menjalani semuanya, tapi saat aku kembali ke rumah lalu ke kamar, semuanya terasa kosong. Aku sendiri. Mengingat aku hanya anak satu-satunya dalam keluargaku semakin memperburuk semuanya.

Sebenarnya aku pernah memikirkan hal ini dulu, tapi sudah tidak ku gubris lagi. Sampai malam itu, rasanya sudah memuncak dan aku muak. Aku muak karena aku sendiri. Sendiri menghadapi semuanya, sendiri melalui semuanya, dan aku memimpin diriku sendiri. Semua orang yang ada di sekelilingku maupun orangtuaku mungkin hanya menganggap aku ada saja sudah cukup tanpa perlu mengertiku. I know people are too busy with their problems. Sebenarnya, aku tidak pernah mau menuntut semua orang untuk mengerti, aku hanya ingin mereka mendengarkan, memasang telinganya untuk mendengarkanku, mungkin merepotkan, tapi aku hanya ingin mereka tau aku ada.

Beruntung aku punya teman yang bisa dibilang kadang suka merasakan hal yang sama, merasa sendiri. Thanks to you, Azmik. Aku benar-benar melampiaskan semuanya padanya waktu itu, semua yang kuanggap sepele dan tidak pernah kuganggu gugat. Sesuatu yang kuanggap terlalu biasa untuk dibahas sampai akhirnya aku merasa ini selalu berat untuk diingat. Aku hanya merasa semua orang kadang tidak akan pernah benar-benar memahami satu sama lain. I'm feeling terrible. Tapi, setiap aku datang kepada Tuhan, mencoba bertanya dan berbicara padaNya, aku merasa sangat buruk dan hina, aku seperti hanya datang padaNya disaat aku benar-benar merasa tidak sanggup melakukannya sendiri. Aku sangat merasa kacau hingga aku menekan semuanya sejak awal, mencoba terlihat selalu baik-baik saja dan merasa semuanya sangat buruk saat aku merenung di dalam kamar dan aku tidak pernah mampu menahannya.

Aku tau aku sendiri, karena itu aku hanya ingin terlihat menyenangkan bagi semua orang. Walaupun, aku memang tidak bisa terlihat jadi orang yang menyenangkan karena mereka semua bilang, aku terlihat sangat jutek. Tapi, aku tidak harus peduli dengan semua itu, kan? Aku senang melihat orang lain bahagia karenaku. Dan aku ingin semua itu tetap berlanjut. Banyak yang bilang, aku sangat menyeramkan waktu aku tidak mood. Padahal saat itulah aku juga merasa takut semua orang menjauh, meninggalkanku. Aku hanya takut mereka akan datang dan pergi sesuka hati mereka tanpa merasa ada yang berbeda. Tapi, apa yang bisa kulakukan selain melihat mereka melakukannya? Aku berharap aku tetap ada untuk mereka, tetapi aku minta maaf, kalau mungkin aku mengganggu kalian, atau terlihat sangat membutuhkan kalian. Sampai saat ini, belum ada yang bisa membuatku merasa bahwa aku ini ada. And all that I want is somebody who makes me feel that I exist.




PS: Aku membuatnya sendiri. Bagus, tidak? Percaya atau tidak, aku selalu merasa lebih baik setiap membacanya.

April 13, 2013

I'm trying.


There'll be a time that you hope everything'll be back, 
and you wish he'll come back to you one more time.


Mungkin terdengar nggak logis, atau nggak masuk di akal. Bagaimana aku mencoba yang terbaik untuk melupakan semuanya. This is my best effort ever, I'm always trying. Aku berusaha, kalian pikir aku sedang apa? Dan yang perlu kalian tau, rasanya sangat menyebalkan. Lebih menyebalkan dari apa yang kalian bayangkan.

March 21, 2013

Whatever


Mungkin kedengarannya jahat kalau aku nggak memilih untuk kembali mengenal semuanya yang menurutku sudah benar-benar kuanggap hilang. Bukannya aku membenci, atau dendam. Hanya saja aku tidak pernah mau berurusan kembali dengan hal-hal yang membuatku sakit. Sudah cukup kecewa. Toh, hidupku tetep nyaman aja, kok, tanpa perlu berurusan lagi. Jadi, apa yang perlu di khawatirkan? Karena menurutku, memang setiap orang diberi pilihan untung datang dan pergi dalam hidup orang lain. Dan setiap orang punya alasan. Tapi, setiap orang berhak untuk menerima kembali mereka yang sudah pergi, atau tidak. Well, it's up to you. You have your own decision. And I have my own decision.

February 24, 2013

Are you sure enough that you're tired?

Yang namanya hidup, pasti muter-muter. Nggak ada habisnya kalau ngomongin soal hidup. Apalagi setiap harinya. Kadang banyak kejadian yang bikin ngeluh, yang bikin kita bilang kalau kita lelah. Aku juga gitu, kok. Buat bilang lelah itu gampang, kok. Mengutarakan semua yang membuat kita lelah juga gampang. But, are you sure enough to say that you're tired?  Coba, deh, liat mereka sebentar.

Mereka mungkin anak-anak dari sekian banyak yang kehilangan hak-haknya. Dengan umur yang semuda itu, mereka sudah ngerasain gimana kerja keras, gimana dilecehkan orang, dianggap hina. Padahal mereka benar-benar sama seperti kita. Mereka mungkin ingin sekolah, ingin belajar, ingin ngerasain berbagi bekal dengan teman-teman, ingin ngerasain rasanya ulangan yang membuat kita mengeluh habis-habisan. Tapi, kita yang tanpa perlu bekerja keras pun masih mengeluh dengan rasa lelah yang nggak sebanding dengan rasa lelah mereka. Mereka lelah, jauh lebih lelah. Coba bayangkan, bagaimana mereka dari pagi sampai malam harus bekerja. Ada yang menjajakan koran, menyanyi di sepanjang jalan, bahkan berjalan di bawah panas matahari. Mereka jauh lebih baik dari kita yang masih mampu merasakan rasanya sekolah, merasakan makanan yang layak, dll. Mereka jauh lebih baik. Coba tebak mengapa? Karena mereka jauh lebih bersyukur. Seberapa banyak recehan yang mereka dapat, mereka bersyukur. Berharap receh-recehan tersebut bisa menjadi harta mereka yang paling berharga hingga mereka bisa bertahan hidup.

Aku malu, malu sama Tuhan. Karena dengan sombongnya mengeluh bahwa aku lelah. Lelah atas semuanya. Tapi, begitu aku melihat seorang bapak separuh baya di pinggir jalan sekitar jam setengah sebelas malam, aku terenyuh. Bukan karena keadaannya, tapi karena sudah larut malam beliau masih menjajakan buah-buahan di dalam keranjang yang masih banyak. Dengan sabar beliau menunggu. Meskipun dari jauh, aku tetap bisa melihat dengan jelas, beliau berdzikir. Tanpa bantuan tasbih, beliau menggunakan tangannya untuk bertasbih. Memohon pada Tuhan agar ada seseorang yang dengan kerendahan hatinya membeli buah-buahan tersebut.

Jujur, aku benar-benar terenyuh, terharu. Benar-benar malu. Malu sama Tuhan, terlalu mudahnya aku mengeluh. Kita semua sama, terlalu jahat untuk mengeluh sama Tuhan tanpa melihat bagaimana keadaan mereka. Oleh karena itu, kita sama-sama belajar bersyukur. Aku juga belajar bersyukur. Karena sebenarnya, yang diberi Tuhan untuk kita itu sudah lebih dari cukup. Lebih dari apa yang kita butuhkan. Kenapa ngga meluangkan waktu, mencoba berterimakasih, sebentar saja? Atas semua yang Dia beri untuk kita, atas setiap nafas yang kita rasakan setiap harinya, setiap kita bangun. Karena, masih banyak yang tidur di jalanan dengan beralaskan aspal, masih banyak yang mengoyak-koyak tempat yang kumuh untuk mencari makan yang mungkin sudah tidak layak untuk di konsumsi, masih banyak yang berjuang melewati cobaan yang mereka hadapi setiap harinya. Jadi, kalau kalian mengeluh bahwa kalian lelah, apa kalian benar-benar yakin bahwa kalian lelah?



Well, I have my own decision. Segala sesuatunya pasti memerlukan keputusan, pilihan. Setiap orang mempunyai jalannya masing-masing. Aku sudah memilih jalannya. Sudah menentukan dan memikirkan setiap resikonya. Tetapi, aku disini seperti terdiam. Tidak tau apa aku telah memilih jalan yang salah atau benar. Hanya berharap saja aku dapat meyakinkan Tuhan bahwa aku memang memilih jalan yang benar-benar aku inginkan. Rasanya seperti ingin kembali. Siapa, sih, yang tidak mau kembali ke saat-saat yang paling mereka inginkan? Tapi sama saja seperti mengembalikan kertas yang telah terbakar seperti semula, mustahil. Aku cuma kangen, kangen semuanya.

January 29, 2013

Differences Are Not a Problem


Tuhan menciptakan 2 makhluk yang berbeda yaitu pria dan wanita.
Dan mereka dipasang-pasangkan oleh Tuhan.
Dibiarkan hidup berdampingan.

Pria diamanahkan seorang wanita, untuk dijaga dan dilindungi sebagaimana mestinya.
Wanita menunjukkan rasa kesetiannya, sedangkan pria menunjukkan tindakan-tindakan layaknya mengupayakan wanita untuk tetap berada di sisinya.
Setahu saya, seorang pria tidak pernah benar-benar mempermainkan seorang wanita. 
Apabila pria telah memantapkan hatinya pada seorang wanita, maka selama apapun dia akan tetap berusaha memantapkan hatinya.
Pria bukan cepat menyerah dengan keadaan. Tetapi, pria tidak pernah bisa memantapkan hati tanpa keyakinan yang mendorongnya. 
Alhasil, para pria dianggap mudah menyerah dalam hal menunggu seorang wanita.
Berbeda dengan wanita, apabila wanita sudah memantapkan hatinya pada seorang pria, maka akan tetap mantap meskipun tidak ada keyakinan yang mendorongnya. Selama apapun itu.
Katanya, sih, pria tidak pernah mengetahui apa yang wanita mau. 
Lantas, apakah kalian tau sesuatu yang tak terjabarkan?
Itulah mengapa pria selalu memakai logika sedangkan wanita memakai perasaan.


"Rasional bukan berarti harus lempar perasaan jauh-jauh; dan pake perasaan juga bukan harus buang logika dalam-dalam." @annsrzka


Pria dan wanita akan selalu berbeda. Saling mempunyai opini yang berbeda atas apa yang mereka rasakan.
Tetapi perbedaan diciptakan bukan untuk menghilangkan persamaan, namun diciptakan untuk mempersatukan.
Tanpa adanya perbedaan, manusia tidak akan mungkin mengerti satu sama lain.
Pria dan wanita diciptakan dengan perilaku dan sifat yang beragam.
Ada pria yang pemarah, egois; kemudian disandingkan dengan wanita yang sabar, dan selalu peduli.
Ada juga wanita yang cuek, namun apa adanya; kemudian disandingkan dengan pria yang penuh perhatian, dan tulus.
Jika perbedaan tidak pernah ada, akan selalu ada api yang dilawan dengan api.
Tidak pernah berujung hingga tidak ada yang mau memadamkan api nya.



"......pria diamanahkan seorang wanita untuk dijaga dan dilindungi sebagaimana semestinya. Tanpa harus memperhitungkan jangka waktu wanita tersebut diamanahkan."

January 27, 2013


Aku cuma ingin minta sama Tuhan, aku udah cukup bahagia, dengan orang-orang yang memang diperuntukkan untuk aku. Dengan orang-orang yang sepertinya akan selalu ada. Aku cuma mohon, kalian semua tetap disini. Jangan pernah pergi.

January 22, 2013

Don't judge the book from its cover?


Kata orang-orang, sih, "Don't judge the book from the cover."

Nah, ternyata quote itu pas banget bagi orang-orang yang suka men-judge orang lain. Meskipun ngga kenal, tetep aja di-judge.. Semua orang juga pasti begitu, termasuk saya. Nge-judge orang lain itu seperti sikap dasar, pasti semua orang pernah nge-judge orang lain, entah dari sikap/perilaku, omongan, dsb. Tapi yang saya mau share bukan itu.. Cuma lagi sedikit mikir. Memang, sih, quote tadi cuma perumpamaan. Tapi coba dipikir-pikir lagi, siapa coba yang mau beli buku ber-cover tidak menarik? Misalnya, covernya acak-acakan, atau kurang jelas, atau malah kurang nyambung sama judul bukunya. Kita nggak akan tertarik sama sebuah buku, kalau dari luarnya aja kurang menarik untuk dilihat, untuk lihat aja nggak mau, gimana untuk membaca sinopsisnya? Intinya, seperti manusia. Siapa, sih, yang mau kenal dengan orang yang dari luar terlihat acak-acakan, dan nggak jelas? Walaupun hatinya sebaik malaikat langit ke-23 pun, tetap aja penampilan juga penting. Penampilan yang menunjukkan diri kita sendiri. Kalau dari luar terlihat baik, pasti dalamnya adalah refleksi dirinya, sama-sama baik. Mungkin, quote yang sebenarnya adalah; "The real good book, is a book which is proper to be read by people and interest people. Not only from the cover, but also from the contents of the book."

Jadi, kesimpulannya, jadi manusia jangan baik dari dalamnya aja, tapi dari luar juga. Karena jaman sekarang, sih, yang semu susah dilihat sama manusia-manusia sekarang. Walaupun kamu tau kamu orang yang baik, tapi kalau kamu nggak menunjukannya, orang juga mana tau. Kamu tau kamu adalah orang yang baik itu belum cukup. Oke, ini nggak penting, hasil pemikiran orang absurd.

January 2, 2013

We Have Choices, Right?


Bukan tidak mungkin aku mengira aku tidak mempunyai pilihan detik ini. Aku mengerti, tiap orang selalu mempunyai pilihan. Kalian pernah, kan, ditempatkan pada situasi yang mengharuskan kalian untuk memilih pilihan yang ada di depan kalian, atau tidak bisa memilih apa yang seharusnya kalian pilih. Aku tau, aku memang akan selalu punya pilihan. Tapi, bukankah lebih baik lagi kalau mengetahui akibat atau keuntungan suatu pilihan? I wish I could. 

Aku bukan dengan sengaja melakukan ini semua. Aku cukup paham bahwa ini semua adalah pilihan yang sudah aku pilih. Tapi, boleh, kan, kalau aku menyesal dengan pilihan yang aku pilih? Karena aku tidak tau, akibatnya akan sesakit ini. Aku memang boleh menyesal, but I’m not that weak. Aku masih bisa, kok. Kalau ada persentase di game-game action, sih, energiku masih 85%. Masih cukup kuat untuk menampungnya. Jadi, sebenarnya aku tidak perlu khawatir dengan diriku sendiri. Karena menentukan pilihan seperti memanjat tebing yang sangat tinggi. Apabila kamu tau batu mana yang kuat untuk kamu panjat, kamu akan sampai ke puncak. Tetapi apabila kamu memilih batu yang tidak begitu kuat untuk kamu panjat, maka kamu akan terjatuh, lebih sakit dari apa yang kamu bayangkan dari kata “jatuh”.