September 25, 2015

Eccedentesiast.


Hari menjelang senja. 
Aku sedang duduk di depan seseorang yang kukenal baik. 
Ia menatapku, seperti tatapan kasihan. Aku tak suka. Aku paling tidak suka dikasihani.
Ia bertanya, “How’s life?
Seketika pandanganku kosong. Pikiranku menguap entah kemana.
Life?
Aku tetap diam.
Ia berkata, “Ceritakan saja. Apapun yang ingin kau ceritakan”.
“Aku harus mulai dari mana?”, tanyaku.
Ia hanya tersenyum. Aku mulai membuka mulutku dan mengungkap perih.

***

Aku mengoleksi topeng-topeng. Sangat banyak, tak terhitung jumlahnya.
Namun, semakin lama semakin habis. Entah hilang, atau dicuri orang.
Hingga aku memutuskan untuk menyerah.
Kalian boleh mengatakan aku sakit,
atau tidak waras,
atau menyedihkan,
atau apapun yang menyenangkan hati kalian.
Aku yang setiap hari kalian temui, bukanlah aku.
Dia orang lain, yang menguasaiku.
Dia tertawa, saat aku tidak ingin tertawa.
Dia menangis, saat aku tidak ingin menangis.
Tetapi, dia menguasaiku.

Mari kuperkenalkan aku yang sebenarnya.
Setiap harinya aku terbangun dengan perasaan yang kosong.
Aku selalu memakai topeng yang kunamakan topeng senang.
Setiap harinya aku membunuh diriku sendiri.
Menyediakan telinga, pikiran, perasaan untuk orang lain.
Tak apa, satu-satunya energiku ialah saat aku melihat orang bahagia karenaku.
Saat mereka sudah tidak membutuhkanku, energiku habis.
Dan aku harus pulang.
Ternyata benar kata orang. Rumah ialah tempat kamu mampu bertemu dirimu yang sebenarnya.

Diriku yang sebenarnya.

Setiap hari yang kulakukan ialah melepas topeng senang.
Kemudian duduk,
dan merenung.
Merenung,
lagi-lagi merenung.
Hingga dadaku terasa sesak dan aku tak kuat menahannya.
Kata orang, air mata membuatmu lega.
Bagiku, air mata membuatku sesak.
Rasanya sakit, sangat sesak. Tidak ada yang mampu menolong.
Aku terus menjalani hari-hariku seperti itu.
Sesak, sesak, dan sesak.
Tapi aku tidak suka mengakui bahwa aku menangis. 
Rasanya menjijikkan dan terkesan cengeng.

Bahkan saat menulis ini, aku sedang membunuh diriku sendiri.
Setiap harinya aku membunuh diriku sendiri.
Menghabiskan banyak tissue, salah satu contohnya.
Mama dan papa sering mengeluh. Kenapa tissue sangat cepat habis? Andai saja mereka tahu, anaknya sering membuang-buang tissue hanya untuk merasa lebih baik. 
Hanya untuk mengusap rasa sesaknya.

Sesak,
sampai aku tidak tahu kapan aku bisa bernapas lega.

***

Sudah bukan menjelang senja. Ini sudah berganti malam.
Pembicaraan itu ditutup tepat saat dadaku mulai terasa sesak. 
Aku hanya mampu menutup mukaku, kemudian kembali menghabiskan tissue.
Ia bertanya, “Sesakit itukah rasanya?”
Aku menatapnya. Menganggukkan kepala.
Ia hanya tersenyum. Aku terus menatapnya.
Lama-kelamaan wujudnya menjadi semu.
Aku terbangun dari lamunanku. Ia pergi.
Pergi dengan topeng senangku.
Hilang, hingga aku menyadari.

Ia adalah refleksiku.