November 15, 2019

4am Thoughts


here comes the day i wonder
if i possibly lose you,

past doesn't affect me to be protective or
possessive person. i set him free,

'cause no matter how hard i keep someone,
if the person wants to go, he would.

so i love him freely,
and hope that nothing
could
disappoint
me.


 s.d

July 17, 2019

Describing You


"

Aku tidak bisa memahami cara kerja "kebetulan".
yang aku tahu, sesuatu selalu diatur sedemikian rupa.
Manusia hanya mampu menjalani dan mengusahakan,
menebak-nebak apa yang akan terjadi selanjutnya.

"


Bertemu dengannya tidak bisa kuanggap sebagai kebetulan.
Kalau bisa digambarkan, lebih condong ke rasa syukur.
Seperti rasa syukur akan orang-orang bermakna di hidupku.
Tetapi dia menempati ruang yang lebih khusus.
Ruang yang tidak dengan mudah kubiarkan orang masuk.

Dia datang tepat pada waktunya.
Saat luka sudah terlalu lama dibiarkan menganga.
Saat tidak ada tempat untuk merasa lebih baik.
Saat hati tidak ingin lagi terusik hingga terasa mati.
Saat aku terlalu lupa mencintai diriku sendiri. 

Dia datang dengan tawa yang hangat.
Sifat yang mudah ditemukan di manapun,
tapi pribadi yang jarang ditemukan dalam diri setiap orang.
Tidak semua orang bisa melihat ke dalam dirinya.
Tidak semua orang bisa merasakannya.

Dia seperti tidak asing bagiku.
Seperti melihat sosoknya dalam diriku beberapa tahun lalu.
Aku merasa sangat dekat dengan tawanya, lukanya.
Tanpa kusadari semakin mengenalnya,
semakin aku ingin ada untuknya.

Aku menikmati setiap detiknya ku-
menyukai tawa hangatnya,
memahami kesedihannya,
mengagumi karakternya,
dan mensyukuri kehadirannya.

Aku bisa leluasa menyukainya,
tanpa perlu mengurangi rasa suka kepada diriku sendiri.
Aku bisa menikmati waktu dengannya,
tanpa perlu takut kehilangan diriku sendiri.
Aku bisa tenang melepasnya,
tanpa perlu khawatir dia akan menghilang.

Rasanya seperti selalu yakin kami akan kembali.
Sejauh apapun kaki kami berlari,
selama apapun waktu yang kami butuhkan,
aku selalu percaya kami akan
saling kembali ke tempat semula.

Aku tidak berbohong jika yang paling kuinginkan adalah
mampu berada di sisinya kapanpun dia butuh,
saling membagi tawa dan kesedihan tanpa perlu meragu,
menyaksikan setiap momen yang berarti untuknya.
Aku tidak berbohong jika aku ingin sekali.

Dia membuatku merasa bahwa pertama kalinya
ada orang yang pantas untuk diperjuangkan.
Meski terkadang jalannya terasa tidak mudah,
tapi aku tahu semakin tekun merawatnya,
semakin menuai hasil yang indah.

Dia menjadi satu-satunya yang berkata,
"jadilah baik untuk dirimu sendiri."
Tidak butuh waktu lama untuk sadar
bahwa aku ternyata menantikan sosoknya.
Sosok yang kukira tidak akan kutemukan.

sosok yang paling singkat membuatku jatuh, tetapi yang paling dalam memahamiku.

Aku sangat tahu bahwa
tidak ada yang mampu
menjanjikan apapun di dunia ini.
Tapi jika diizinkan berharap,
semoga langkah kaki kami, akan tetap selaras.

...dan semoga kali ini Tuhan membiarkanku benar.


July 4, 2019

Suicidal Thoughts Are Real


Aku dulu selalu berpikir bahwa orang-orang yang memiliki keinginan untuk membuang hidupnya adalah manusia terbodoh yang pernah ada. Bahkan rasanya aku ingin memaki, yang mereka lakukan buruk sekali. Saking tidak habis pikirnya sampai aku tidak perduli dengan mereka. Iya, meski aku mempelajari ilmu psikologi, tapi aku menjadi salah satu dari sekian yang tidak respect dengan orang-orang yang berkeinginan untuk bunuh diri. Bagaimana tidak? Hidup cuma sekali bagaimana kamu menyia-nyiakannya dengan mudah. Tidak pernah terlintas di otakku untuk membuang hidup, bahkan secara cuma-cuma seperti itu.

Tidak kusangka aku termakan dengan omonganku sendiri. Aku, menjadi salah satu dari mereka. Awalnya keinginan itu tidak terasa kuat, atau mungkin tidak kugubris. Tapi muncul satu waktu, disaat aku benar-benar kehilangan arah, aku ingin sekali mengakhiri segala hal. Rasanya? Letih sekali, mentalku seperti terkuras habis. Tapi aku jauh lebih letih hidup dengan ketakutanku, amarahku, kesedihanku. 

Orang-orang yang kusayangi adalah energi bagiku. Aku senang sekali berada diantara orang-orang. Aku menyukai suasana yang hidup, kalau bisa aku yang selalu menghidupkannya. Saat mereka tidak ada? Aku merasa seperti benar-benar sendirian. Segala pikiran jahat menguasaiku. Apa mereka masih menyayangiku? Apa mereka membutuhkanku? Kalau aku tidak ada apa mereka baik-baik saja? Kalaupun aku ada memang aku sudah sebaik apa? Aku selalu merasa tidak cukup baik untuk semua orang. Tentu saja ini hanya ada di kepalaku, orang lain tidak boleh tau. Sialnya, aku makin merasa sendirian, karena orang tidak tau. 

Akhirnya aku mulai menarik diri dari mereka. Berharap bisa menemukan diriku lagi. Tapi aku justru semakin menjauh. Keinginannya semakin meledak-ledak. Di pikiranku hanyalah bayangan tentang seberapa menenangkannya jika aku pergi. Aku tidak perlu merasa letih, tidak perlu khawatir jika diriku tidak cukup, tidak perlu berpikir rumit, tidak perlu mengecewakan orang lain. Ingin bertemu Mama, ini juga semakin menguatkan keinginanku.

Aku tidak melukai diriku sendiri, aku merasa sudah terluka dengan pikiranku selama aku hidup. Beberapa hari sebelum itu, aku mengonsumsi obat tidur secara rutin setiap malam untuk menenangkan pikiranku. Tapi sepertinya lama-lama menjadi kebal dan menuntut dosis lebih. Aku hendak menggunakannya untuk ini. Karena aku hanya ingin merasa tenang lebih panjang. Aku semakin menggebu-gebu, berpikir tentang cara lain seperti mengikatkan diri ke tali dan sebagainya. Aku benar-benar menghabiskan hariku untuk menangis, menghilangkan diri dari orang-orang. Toh, mereka pasti berpikir aku baik-baik saja.

Hingga akhirnya hari itu, aku merasa ingin sekali menghubungi satu orang. Di saat pikiranku kalang kabut bersamaan dengan angan betapa indahnya membayangkan tidur yang panjang, aku memberanikan diri. Sampai akhirnya aku sadar, ternyata ada yang perduli. Ada yang menginginkanku untuk tetap bertahan hidup. Ada yang membutuhkanku meski hanya sekadar "ada". Akupun mengurungkan niat di hari itu, berpikir bahwa mungkin akan kulakukan lain kali. Tetapi lagi-lagi aku diselamatkan.

Tanganku digapai ketika hampir tenggelam terlalu dalam.

Setelah hari itu aku sangat bertekad untuk melawan segala keinginan itu. Aku ingin hidup lebih panjang dan hadir untuk orang-orang yang kusayangi. Aku ingin lebih menikmatinya. Aku ingin menebak apa yang akan terjadi di depan. Tapi tidak semudah itu melepaskannya. Aku masih menjalani hari-hari penuh kebimbangan. Aku seperti mendengar suara yang menyuruhku untuk kembali memikirkan niat sebelumnya. Ketika tidur, aku memimpikan hal-hal ganjil seperti ada yang menginginkanku untuk tetap melakukannya. Tapi semua berangsur membaik seiring dengan bantuan dari orang-orang disekitarku, usahaku mengontrol pikiranku, dan tentunya dengan pertolongan dari Tuhan.

Aku ingin dan akan hidup lebih panjang.

Setidaknya aku bersyukur, dengan begini aku jadi memahami mereka yang merasa putus asa dengan hidup. Betapa mereka sangat membutuhkan dukungan, atau minimal kehadiran orang lain di sisi mereka. Saat itu aku merasa sangat kalut ketika sendirian, mungkin jika satu orang tadi tidak "menyelamatkanku", aku tetap ada pikiran itu sampai sekarang. Satu hal yang kuketahui, orang-orang yang memiliki keinginan untuk bunuh diri bukan berarti tidak tau resiko, tidak belajar agama, tidak ber-otak, dan sebagainya. Mereka jelas tau, bahkan mungkin itu hal-hal yang paling mereka pahami. Tetapi mereka juga sangat tau, bahwa rasa putus asa dan letihnya jauh melebihi itu semua.

[June 14, 2019]

June 24, 2019

Another Grateful Day


Something makes me happy today!

Entah kenapa aku ingin sekali mengabadikan apa yang terjadi hari ini. Ya, hal kecil yang membuatku semakin mengerti seberapa dalamnya rasa syukur. 

Malam ini aku ingin sekali makan pangsit mie ayam! Berpikir kalau itu adalah ide yang bagus membuatku bergegas membuka aplikasi Go-Food. Cukup lama bagiku menentukan tempat makan mana yang seharusnya kupilih (meski pada akhirnya aku memilih pangsit mie ayam yang dulu pernah kupesan). Oke, order! Kebiasaanku adalah mengamati baik-baik wajah driver yang mengantarkan pesananku dari fotonya. Setelah mengamati, biasanya aku menyimpulkan bagaimana sifat driver ini dan berapa perkiraan usianya, hanya dari foto dan gaya chat (ini memang otomatis berputar di kepalaku, kebiasaan buruk!). Untuk apa? Entahlah, hanya suka was-was sendiri. Kebiasaan buruk yang kedua, suudzon! Tidak kenal tapi sudah suudzon duluan dan main menyimpulkan. 

Untuk mengalihkannya, aku bermain handphone dan menyiapkan uang untuk driver tersebut. Pada aplikasi tercantum totalnya Rp 61.000,00. Aku menyiapkan uang Rp 62.000,00 dan berniat untuk tidak meminta kembalian. Tak jarang aku menemukan driver yang tetap ingin memberikan kembalian meski hanya lima ratus atau seribu rupiah. Tapi, tak jarang juga aku bertemu dengan driver yang tidak berinisiatif untuk memberikan kembalian (meski aku tidak memintanya). Yah, aku hanya merasa lebih senang dengan mereka yang lebih menghargai rezeki dan mendapatkannya dengan cara yang baik. Dengan ke-suudzonan di kepalaku, aku penasaran bagaimana dengan driver ini? 

Tidak lama, beliau sampai di depan rumah dengan pesananku. Tidak kusangka, beliau ramah sekali menyapa dari pagar. Padahal sebelumnya aku menilai bahwa beliau mungkin seseorang yang pendiam dan agak jutek. Berniat ingin membuka pagar, beliau dengan ramahnya menawarkan untuk memberikan pesanannya lewat atas pagar saja. Lalu, sambil menunjukkan total harga yang perlu dibayar, beliau berkata sambil tersenyum, "Harganya Rp 61.000,00 bayarnya Rp 60.000,00 aja." Sontak aku kaget sebentar, baru kali ini menemukan driver yang korting-in harga. Aku tetap memberikan uang yang tadi kusiapkan. Beliau mengamati uangnya sebentar, dan ingin memberikan kembalian. Refleks aku menolak dan ingin segera beranjak dari pagar. Tidak lama aku mendengarnya berkata dengan nada senang, "Alhamdulillah."

Tidak ada yang lebih menyentuh hatiku dibandingkan melihat orang lain bersyukur atas hal-hal kecil dalam hidup. Aku masuk ke rumah, menyantap pangsit mie ayamku, sambil berkata, "Padahal beliau  berniat mengikhlaskan seribu, tapi malah mendapat kelebihan seribu." Aku merasa bersalah sekali sudah suudzon, bagaimana cara menghentikan kebiasaan burukku ini, ya?!

Lalu aku berpikir, apa begini, ya, cara kerja hidup? Ketika kita mengikhlaskan atau memberikan sesuatu, pasti akan digantikan lebih oleh Tuhan. Kini aku mengerti kenapa beliau bersyukur, niat baiknya langsung dibayar lunas oleh Allah. Karena aku bersyukur bertemu beliau dan mengalami kejadian itu, aku ingin mengabadikannya melalui tulisan ini! Sewaktu-waktu aku merasa hidup tidak adil, aku bisa mengingat betapa menyenangkannya perasaan bersyukur. Untuk mensyukurinya, aku membagi sebagian lauk makananku kepada kucing-kucing lucu kesayanganku! :P




Aku tahu, Anda tidak mungkin membaca ini, Pak. Tapi semoga hidup Anda sekeluarga selalu bahagia dan dilindungi oleh Tuhan!

March 27, 2019

The Answers


Coming back with another progress of me! Sedikit demi sedikit menemukan jawaban atas beberapa pertanyaan di otak ku. Mungkin pertanyaannya tidak mengganggu setiap saat, tetapi bisa jadi menghantui kapan saja.

Kenapa aku sangat takut kehilangan orang lain?
Terkadang ini membuatku bingung. Kalau melakukan kilas balik hidup, sebenarnya tidak ada alasan kuat mengapa aku sangat ketakutan. Orang-orang baik di sekitarku masih tetap ada. Ya, meskipun Mama adalah salah satu yang paling berharga, dan aku kehilangan selamanya. Tetapi setidaknya aku masih sanggup bertahan, kan? Apalagi dengan support psikis dari orang-orang sekitar. Kenapa masih takut?

Kalau kupikir, aku takut karena sepanjang hidup sempat mengalami kehilangan dengan berbagai cara yang menyakitkan. Sehingga aku semakin lama semakin "kebal". Ya kita semua pasti pernah mengalami kehilangan. Hanya saja cara dan respon dalam menanggapinya berbeda-beda. Aku kebal, bukan berarti perasaanku mati total, hanya saja aku tidak terlalu menaruh pengharapan lebih yang mungkin dapat berpeluang menyakiti hatiku suatu saat nanti. 

Orang-orang di sekitarku masih ada? Iya. Lantas bagaimana membuktikan bahwa ketakutanku mungkin akan terjadi? Bahwa semua orang mungkin saja akan pergi. Mengapa aku setakut itu? Ya... beberapa orang memang telah pergi. Meski tidak terlalu punya makna lebih, tetapi setidaknya mereka berkesan. Mereka pergi dengan cara yang menyakitkan. Tentu saja meninggalkan kesan buruk, kan, meski makna nya tidak dalam?

Kehilangan dalam artian seperti apa?
Awalnya kupikir kehilangan akan selalu berarti pergi. Pergi ke tempat jauh, sosoknya sudah sulit untuk kujangkau. Tapi setelah diresapi, bukan, bukan itu yang kurasakan. Bukan kehilangan yang seperti itu. Takut akan kehilangan itu adalah suatu hal yang... sangat abstrak. Ya, kan? Apa yang bisa kau jelaskan dari hal itu? Sulit sekali mendeskripsikannya. 

Hingga akhirnya setelah berdiskusi dengan seorang teman, yang merasakan juga adanya ketakutan yang sama, aku baru paham kalau kehilangan yang kumaksud bukan seperti itu.

Kehilangan; saat sosok ku dapat tergantikan oleh siapapun. Saat aku tidak memiliki makna lagi untuk seseorang. Saat kehadiranku tidak lagi dibutuhkan. Ini ketakutanku yang sesungguhnya. Bagaimana jika orang-orang yang punya makna di hidupku tidak merasakan hal yang sama denganku? Bagaimana jika aku tidak se-berarti itu? Bagaimana jika ada atau tidaknya aku bukanlah masalah besar?

Siapa?
Siapa yang paling kutakutkan untuk pergi? Entahlah, mungkin abstrak juga. Jelas aku paling takut kehilangan orang terdekat yang memiliki makna. Bukankah aku sudah mengatakannya berulang kali? Meski belum terbukti bahwa mereka akan benar-benar pergi.

Temanku bilang, ia juga takut aku pergi. Padahal aku tidak akan pergi. Kenapa? Bagaimana bisa aku dengan enteng menjawab disaat aku juga memiliki ketakutan terhadap semua orang. Ya tapi aku tidak akan pergi. Kenapa? Ya karena aku merasa memiliki deep connection dengannya. Aku menceritakan banyak hal, kekhawatiran, keraguan, ya meskipun tidak semua, tetapi setidaknya aku menceritakan paling banyak kepadanya. Dia pun jadi salah satu teman yang mendengarkan dan mau memahami. Bukan berarti teman-temanku yang lain tidak, hanya saja aku tidak banyak menceritakan hal-hal mendalam, lagi-lagi karena takut menyusahkan.

Adanya deep connection itu yang membuatku merasa tidak mungkin kalau salah satu dari kita pergi, atau saling menggantikan sosok masing-masing. Bukan karena terlalu percaya diri, tapi ibarat sudah menitipkan seperempat bagian dari diri satu sama lain. Bagaimana tidak? Ini bagian dalam diri yang kita bicarakan, kan? Bagian yang tidak mudah untuk dijangkau. Terkubur jauh di dalam diri.

Karena memang tidak mudah untuk sharing hal-hal semacam ini. Lagipula tidak semua orang dapat mengerti. 

Lantas apa dasar dari rasa takutnya?
Aku tidak terlalu khawatir bahwa sosok ku akan digantikan karena setidaknya dia tau bagaimana sisi tergelapku, dan dia tetap tinggal. Lalu siapa yang kutakutkan? Orang-orang yang tidak tahu seberapa dalam sisi gelapku. Semua orang punya sisi gelap, kan? Hanya saja melaluinya dengan cara yang berbeda. 

Jelas saja aku ketakutan sekali. Aku jarang membagikan hidupku dengan mereka? Aku tidak tahu akankah mereka tetap tinggal. Meski aku sangat yakin mereka adalah orang-orang baik yang sudah menjadi circle-ku. Tapi tetap saja, bagaimana kalau ternyata sosok ku se-menyebalkan itu? Serumit itu untuk dipahami? Lalu dengan mudahnya tergantikan? 

Tidak akan ada habisnya jika aku mengulas kemungkinan terburuk.

---

Yah, setidaknya aku menjadi lebih lega sekarang. Sedikit demi sedikit pertanyaan dalam otak ku terjawab. Meski mungkin masih akan ada pertanyaan-pertanyaan lainnya. Tidak mengapa, hidup memang se-mengejutkan itu, kan? Setidaknya aku menuliskan ini agar dapat meresapinya setiap kali mengingatnya. Aku senang.


March 24, 2019

True Colors


Telah kutemukan jawaban atas pertanyaan yang ada di kepalaku selama ini. Meski belum semuanya terjawab (beberapa hal yang kupertanyakan sempat terlupa), tetapi setidaknya ini adalah hal baik! Perlahan-lahan mulai sadar bahwa aku mungkin salah dalam memahami konsep hidup. Kupikir akulah yang seharusnya tampil sederhana, baik-baik saja, tidak perlu banyak bercerita, apa saja yang penting tidak terlihat rumit. Orang lain tak mengapa, asal aku tidak. Kalau mereka tahu, pasti akan kesulitan memahamiku. 

Nyatanya, aku jadi tidak punya siapapun. 

Bukan berarti aku sendirian, tidak. Banyak sekali orang-orang baik di sekelilingku, tapi aku tidak membagi hidupku dengan mereka. Ada banyak alasan mengapa aku tidak melakukannya; aku tidak mau menambah pikiran mereka, aku tidak ingin menyusahkan, aku takut sudah cerita tapi tidak menemukan jawaban, dan aku juga malu. Malu kalau sebenarnya aku serumit itu untuk sekadar dipahami. Akhirnya kudedikasikan hidupku untuk mempermudah orang lain. Karena menurutku, sikapku yang rumit ini sangat merugikanku dan orang lain. Memang, kan?

Namun, ada seseorang yang berpikir sebaliknya. Who's gonna accept your true colors?

Siapa yang akan menerimaku ketika aku sudah tidak sanggup untuk tampil baik-baik saja. Ibarat aku jatuh ke dalam sumur, siapa yang akan menarikku dari dasar ketika sudah jatuh terlalu dalam? Boro-boro ditarik, mungkin tidak ada yang mendengar bahwa aku sedang berteriak minta tolong.

Who's gonna stick with me till the end?

Benar saja, aku melakukan apapun agar semua orang tetap tinggal. Aku bahkan mengikis diriku perlahan-lahan tanpa kusadari. Ya memang kenapa? Yang penting kan mereka tidak pergi. Tapi bukankah kunci dari -datang dan pergi- tergantung pada penerimaan? Akankah mereka yang bersamaku sekarang dapat menerima segala kerumitanku kelak? Bagaimana bisa menerima kalau tidak pernah tahu? Harusnya aku sadar bahwa orang-orang yang pergi mungkin tempatnya bukan di sisiku. Tapi kenapa pergi? Padahal, kan, aku sudah mengusahakan yang terbaik? Memang kepada siapa aku berbuat baik?

Untuk siapa aku berbuat baik?

Lagi-lagi mengalami kesalahan berpikir. Sejak kapan aku meyakini bahwa berbuat baik untuk orang lain adalah jawaban yang paling akurat? Bagaimana dengan diriku sendiri? Apa aku sudah jadi baik untuk diri sendiri sampai-sampai harus jadi baik untuk orang lain? Aku hanya perlu menjadi diriku sendiri, demi diriku sendiri.

Mencintai diriku sendiri sehingga orang lain juga akan mencintai segala aspek di dalam diriku dengan sendirinya.


---


Aku mengakhiri tulisan ini dengan menghela nafas panjang yang lega! Rasanya tidak hanya pikiranku saja yang mulai sederhana, kepingan di dalam diriku pun mulai kembali menyatu. Lagi-lagi perlu berterima kasih kepada seseorang. Meski tidak bisa menunjukkannya secara langsung, tapi aku sangat memaknai kehadirannya di hidupku sekarang. Semoga Tuhan selalu menjagamu, ya.

Semoga kelak Tuhan berbaik hati mempertemukan.



Jika kau lihat tangisku pecah,
itu bukan berarti aku sedang meratapi hidup.
Terkadang itu bentuk bahwa aku sangat bersyukur,
masih terus dipertemukan dengan orang-orang baik.

Jika kau dengar tangisku pecah,
terkadang itu berisi harapanku kepada Tuhan
untuk membantuku mempertahankan orang-orang baik
dan berharap bahwa aku juga baik untuk mereka.

Jika kau ada saat tangisku pecah,
berarti aku sepenuhnya percaya bahwa kau
tidak akan menghakimi, apalagi memberi tatapan iba.
Kau ada untuk mendengarkan dan mengerti tanpa kata.

Cukup bagiku.

Masalahnya adalah tangisku hanya pecah saat aku sendiri.

Garis Perbatasan


Pernahkah aku bercerita bahwa aku membenci beberapa aspek dalam diriku?
Terkesan kejam, tapi tidak mampu untuk kubantah.
Aku mungkin berkali-kali sangat mencintai diriku sendiri,
tetapi ada satu waktu aku jatuh membenci diriku sangat dalam.

Bagaimana, ya, mengatakannya?
Ada kalanya hal-hal yang kubenci menguntungkanku.
Contohnya, aku benci membuat orang tidak nyaman padaku.
Maka aku akan mencari berbagai cara agar mereka tidak perlu repot beradaptasi denganku.

Tapi tidak semua hal yang kubenci menguntungkan.
Hal-hal itu hampir sulit untuk kuungkapkan.
Aku jadi mengubur diriku sendiri terlalu dalam.
Ingin menggalinya, tapi sudah tidak sempat.

Dan siapa pula yang mau tahu?

Memang, memendam sesuatu terlalu lama itu tidak baik.
Apalagi sesuatu yang memang harus di-release.
Tapi rasanya kali ini sudah berbaur menjadi satu.
Menjadi aku.

Kini aku sedang tidak nyaman, harus diungkapkan.
Meski hanya mengutarakan di sini, bukan berarti sia-sia, kan.
Ternyata aku bisa kalah juga dengan ego ku.
Ini juga salah satu yang kubenci dari diriku.

Ya, begini contohnya.
Aku benci sesekali takut mengungkapkan hal-hal yang ingin sekali kuutarakan.
Seakan-akan aku mampu menjawab segala pertanyaan dalam otak ku.
Tanpa perlu bertanya pada siapapun.

Lagipula siapa yang bisa memberi jawaban?

Aku benci terkadang diam saja meski tahu apa yang harus kulakukan.
Sudah tercetus di pikiran, tapi memulainya dengan penuh ragu.
Aku benci terlalu banyak berpikir sesuatu yang mungkin belum tentu terjadi.
Berputar-putar terus saja, seringkali ditepis, lalu datang lagi.

Aku benci pada akhirnya tidak mampu mempertahankan semua orang.
Meski terkadang kepergian mereka bukan tanggung jawabku.
Beberapa orang justru tidak tahu diri ketika dipertahankan.
Ya bagaimana lagi? Tuhan memang menggariskannya demikian.

Aku juga benci jika sudah percaya terlalu dalam.
Mungkin memupuk rasa percayanya tidaklah singkat,
tapi jika sudah terpupuk, bisa jadi terlalu dalam.
Kalau kecewa, sehancur apa?

Aku paling benci saat memaafkan terlalu mudah.
Mungkin memaafkannya tidak cepat, tapi masih terhitung mudah.
Padahal ini berita baik! Bukankah bagus kalau mudah memaafkan?
Meski butuh pertimbangan seribu kali menerima mereka kembali di hidupku.

Aku benci di satu sisi aku bisa sangat tidak peduli,
kepada mereka yang terbukti memperlakukanku dengan buruk.
Tapi di sisi lain aku bisa sangat peduli,
kepada mereka yang mungkin bisa meninggalkanku sewaktu-waktu.

Lagi-lagi bicara tentang meninggalkan dan ditinggalkan.

Aku benci mengakui bahwa aku masih merasa takut kehilangan,
siapapun yang punya makna di hidupku.
Karena sebesar aku memaknai mereka,
sebesar itu pula rasa takutku hadir.

Terkadang aku benci harus mengakui bahwa aku tidak setangguh itu.

Aku benci jika sudah berdiri di garis perbatasan dalam diriku.


---


[p.s: akan kutambahkan sewaktu-waktu ketika aku membenci hal lainnya yang mungkin akan kutemukan lagi.]

February 8, 2019

| Save Me |


Have I told you
about my lifetime-question

"you save everyone,
but who saves you?"

Well, time goes on
now I'm questioning

"do I deserve to be saved?"

Sarah Diza

Izinkan Aku Lelah


Ternyata aku lelah,
aku cukup lelah.
Aku lelah mengutamakan orang lain.

Mengerahkan waktu,
pikiran,
perasaan.

Tidak, aku tidak sebaik itu.
Tapi aku melakukannya.
Bukan berarti aku sebaik itu.

Kini, aku menangisi diri.
Menuntut jawaban atas
"mengapa kau ulangi lagi?"

Padahal sudah ku punahkan rasaku.
Ku bangun ulang tembokku.
Ku tata rapih sikapku.

"Bukankah kau berhasil?
Tidakkah kau merasa
baik-baik saja melaluinya?"

Lagi-lagi menuntut jawaban.
Mencoba kilas balik waktuku.
Bagian mana yang bercelah?

Jangan salah.
Aku yakin sempat
menyayangi diriku sendiri.

Tapi perih ini,
seperti bertanya kepadaku,
"apa selama ini kau tak sadar?"

Alih-alih menyayangi diri,
aku justru membuang diri,
mencoba selalu ada.

Padahal petunjuknya jelas;
Sisihkanlah waktu,
untuk dirimu sendiri.

Kini, aku sudah sadar.
Aku sedang melakukannya.
Aku sadar mengapa melakukannya.

Ternyata aku butuh,
aku cukup butuh.
Aku butuh menengok ke arahku.



Kepada seseorang, aku sangat berterima kasih, telah menyadarkanku.