March 28, 2014

Menjadi Fleksibel Itu (Tidak) Mudah

Kata mayoritas orang, menjadi pribadi yang fleksibel itu menyedihkan bahkan ada yang bilang memprihatinkan. Karena, secara nggak langsung, kita menjadi penikmat sepi. Mungkin saya adalah salah satu dari mereka yang menikmati sepi. Yup, saya memutuskan untuk menjadi fleksibel setelah saya cukup muak dengan omong kosong mereka yang bertopeng. Mereka yang memakai topeng saat bertemu saya, memperlihatkan seakan-akan semua baik-baik saja, tetapi setelah mereka pergi, mereka melepas topeng mereka, kemudian berkoar-koar tentang saya. Kejadiannya cukup lama, sampai saya tidak ingat jelasnya kapan, tetapi saya sangat menikmati menjadi orang yang fleksibel. Dan menjadi fleksibel sama sekali nggak menyedihkan.

Mereka bilang, sih, orang fleksibel itu kasihan, nggak punya teman tetap. Oh, ya? Lantas apakah yang mereka artikan teman tetap adalah mereka yang bergerombol, hingga membentuk geng? Malah setahu saya, mereka yang bergerombol, yang menunjukkan solidaritas mereka yang selalu bersama-sama, adalah yang memakai topeng. Nggak jarang kebanyakan dari mereka membenci satu sama lain, membicarakan perilaku sahabat mereka ke sahabat yang lain dalam satu geng. Parahnya, mereka juga ngadu kelakuan sahabatnya ke ‘orang lain’. Emang kadang semua yang terlihat, nggak seperti apa yang dibayangin. Mereka yang solid, seperti sahabat yang udah berkomitmen, malah saling membicarakan. Saya, sih, ketawa aja dalam hati. Katanya temen? Hahaha.

Saya suka menjadi fleksibel. Saya nggak perlu mengurusi masalah orang lain. Bukannya saya nggak peduli, jelas saya masih peduli, but sometimes we have our own privacy. Jadi, kalau ada teman saya yang menangis, kadang saya membiarkan. Karena, kalau saya yang ada diposisinya, yang saya pingin cuma sendiri. Nggak cuma itu, saya bisa berteman dengan siapa saja, nggak perlu memihak si A atau si B, netral aja. Buat apa ikut-ikutan masalah orang lain? Bikin pikiran makin sumpek. Saya terbiasa menikmati sepi dan berpikir tentang banyak hal, karena saya mencoba meluangkan waktu untuk diri saya sendiri. ‘Cause there’s nobody understands you but yourself. Kamu satu-satunya yang bisa mengerti dirimu sendiri. Untuk apa menuntut orang lain untuk mengerti? Seperti kita sudah jago mengerti diri sendiri saja.

Tapi, menjadi fleksibel nggak semudah kelihatannya. Yang namanya hidup jelas ada cobaannya. Justru seharusnya bersyukur kalau dikasih cobaan. Berarti Tuhan masih sayang, masih yakin kalau kita nggak se-lemah apa yang kita pikir. Orang fleksibel kalau punya masalah memang dihadapi sendiri, maju aja. Kalau yang punya geng? Serasa mau tawuran aja. Satu temen doang yang kena masalah, yang maju bisa 4-5 orang. Padahal nggak tahu pokok permasalahannya, nggak tahu temen yang dibela emang bener atau malah salah. Hehe. Saya, sih, disini bukan mau menjelek-jelekkan mereka yang nge-geng, toh, masih banyak mereka yang tahu mana positif, mana negatif. Cuma mau saran aja, lain kali menyikapi sesuatu secara dewasa, bukan sok dewasa.

Gitu aja, sih. Saya lagi pingin memperjelas aja kalau jadi fleksibel emang nggak mudah. Tapi, mereka yang fleksibel nggak se-lemah yang orang lain pikir, bahkan bisa jadi lebih kuat, meleset dari ekspektasi banyak orang. Fleksibel bukan berarti menutup diri untuk punya teman tetap. Tetapi punya teman tetap bisa menggiring kita menjadi anti-sosial. Lagipula, kita juga cukup dewasa, kok, untuk bisa pilih mana yang bener dan mana yang salah. Menurut saya, seiring waktu berjalan, semakin banyak hal-hal yang kamu perjuangin, dan seberapa sering kamu jatuh, disitu waktu yang tepat untuk memilih mana temen ‘asli’ kamu yang mungkin bisa dihitung pakai satu jari tangan.