March 27, 2019

The Answers


Coming back with another progress of me! Sedikit demi sedikit menemukan jawaban atas beberapa pertanyaan di otak ku. Mungkin pertanyaannya tidak mengganggu setiap saat, tetapi bisa jadi menghantui kapan saja.

Kenapa aku sangat takut kehilangan orang lain?
Terkadang ini membuatku bingung. Kalau melakukan kilas balik hidup, sebenarnya tidak ada alasan kuat mengapa aku sangat ketakutan. Orang-orang baik di sekitarku masih tetap ada. Ya, meskipun Mama adalah salah satu yang paling berharga, dan aku kehilangan selamanya. Tetapi setidaknya aku masih sanggup bertahan, kan? Apalagi dengan support psikis dari orang-orang sekitar. Kenapa masih takut?

Kalau kupikir, aku takut karena sepanjang hidup sempat mengalami kehilangan dengan berbagai cara yang menyakitkan. Sehingga aku semakin lama semakin "kebal". Ya kita semua pasti pernah mengalami kehilangan. Hanya saja cara dan respon dalam menanggapinya berbeda-beda. Aku kebal, bukan berarti perasaanku mati total, hanya saja aku tidak terlalu menaruh pengharapan lebih yang mungkin dapat berpeluang menyakiti hatiku suatu saat nanti. 

Orang-orang di sekitarku masih ada? Iya. Lantas bagaimana membuktikan bahwa ketakutanku mungkin akan terjadi? Bahwa semua orang mungkin saja akan pergi. Mengapa aku setakut itu? Ya... beberapa orang memang telah pergi. Meski tidak terlalu punya makna lebih, tetapi setidaknya mereka berkesan. Mereka pergi dengan cara yang menyakitkan. Tentu saja meninggalkan kesan buruk, kan, meski makna nya tidak dalam?

Kehilangan dalam artian seperti apa?
Awalnya kupikir kehilangan akan selalu berarti pergi. Pergi ke tempat jauh, sosoknya sudah sulit untuk kujangkau. Tapi setelah diresapi, bukan, bukan itu yang kurasakan. Bukan kehilangan yang seperti itu. Takut akan kehilangan itu adalah suatu hal yang... sangat abstrak. Ya, kan? Apa yang bisa kau jelaskan dari hal itu? Sulit sekali mendeskripsikannya. 

Hingga akhirnya setelah berdiskusi dengan seorang teman, yang merasakan juga adanya ketakutan yang sama, aku baru paham kalau kehilangan yang kumaksud bukan seperti itu.

Kehilangan; saat sosok ku dapat tergantikan oleh siapapun. Saat aku tidak memiliki makna lagi untuk seseorang. Saat kehadiranku tidak lagi dibutuhkan. Ini ketakutanku yang sesungguhnya. Bagaimana jika orang-orang yang punya makna di hidupku tidak merasakan hal yang sama denganku? Bagaimana jika aku tidak se-berarti itu? Bagaimana jika ada atau tidaknya aku bukanlah masalah besar?

Siapa?
Siapa yang paling kutakutkan untuk pergi? Entahlah, mungkin abstrak juga. Jelas aku paling takut kehilangan orang terdekat yang memiliki makna. Bukankah aku sudah mengatakannya berulang kali? Meski belum terbukti bahwa mereka akan benar-benar pergi.

Temanku bilang, ia juga takut aku pergi. Padahal aku tidak akan pergi. Kenapa? Bagaimana bisa aku dengan enteng menjawab disaat aku juga memiliki ketakutan terhadap semua orang. Ya tapi aku tidak akan pergi. Kenapa? Ya karena aku merasa memiliki deep connection dengannya. Aku menceritakan banyak hal, kekhawatiran, keraguan, ya meskipun tidak semua, tetapi setidaknya aku menceritakan paling banyak kepadanya. Dia pun jadi salah satu teman yang mendengarkan dan mau memahami. Bukan berarti teman-temanku yang lain tidak, hanya saja aku tidak banyak menceritakan hal-hal mendalam, lagi-lagi karena takut menyusahkan.

Adanya deep connection itu yang membuatku merasa tidak mungkin kalau salah satu dari kita pergi, atau saling menggantikan sosok masing-masing. Bukan karena terlalu percaya diri, tapi ibarat sudah menitipkan seperempat bagian dari diri satu sama lain. Bagaimana tidak? Ini bagian dalam diri yang kita bicarakan, kan? Bagian yang tidak mudah untuk dijangkau. Terkubur jauh di dalam diri.

Karena memang tidak mudah untuk sharing hal-hal semacam ini. Lagipula tidak semua orang dapat mengerti. 

Lantas apa dasar dari rasa takutnya?
Aku tidak terlalu khawatir bahwa sosok ku akan digantikan karena setidaknya dia tau bagaimana sisi tergelapku, dan dia tetap tinggal. Lalu siapa yang kutakutkan? Orang-orang yang tidak tahu seberapa dalam sisi gelapku. Semua orang punya sisi gelap, kan? Hanya saja melaluinya dengan cara yang berbeda. 

Jelas saja aku ketakutan sekali. Aku jarang membagikan hidupku dengan mereka? Aku tidak tahu akankah mereka tetap tinggal. Meski aku sangat yakin mereka adalah orang-orang baik yang sudah menjadi circle-ku. Tapi tetap saja, bagaimana kalau ternyata sosok ku se-menyebalkan itu? Serumit itu untuk dipahami? Lalu dengan mudahnya tergantikan? 

Tidak akan ada habisnya jika aku mengulas kemungkinan terburuk.

---

Yah, setidaknya aku menjadi lebih lega sekarang. Sedikit demi sedikit pertanyaan dalam otak ku terjawab. Meski mungkin masih akan ada pertanyaan-pertanyaan lainnya. Tidak mengapa, hidup memang se-mengejutkan itu, kan? Setidaknya aku menuliskan ini agar dapat meresapinya setiap kali mengingatnya. Aku senang.


March 24, 2019

True Colors


Telah kutemukan jawaban atas pertanyaan yang ada di kepalaku selama ini. Meski belum semuanya terjawab (beberapa hal yang kupertanyakan sempat terlupa), tetapi setidaknya ini adalah hal baik! Perlahan-lahan mulai sadar bahwa aku mungkin salah dalam memahami konsep hidup. Kupikir akulah yang seharusnya tampil sederhana, baik-baik saja, tidak perlu banyak bercerita, apa saja yang penting tidak terlihat rumit. Orang lain tak mengapa, asal aku tidak. Kalau mereka tahu, pasti akan kesulitan memahamiku. 

Nyatanya, aku jadi tidak punya siapapun. 

Bukan berarti aku sendirian, tidak. Banyak sekali orang-orang baik di sekelilingku, tapi aku tidak membagi hidupku dengan mereka. Ada banyak alasan mengapa aku tidak melakukannya; aku tidak mau menambah pikiran mereka, aku tidak ingin menyusahkan, aku takut sudah cerita tapi tidak menemukan jawaban, dan aku juga malu. Malu kalau sebenarnya aku serumit itu untuk sekadar dipahami. Akhirnya kudedikasikan hidupku untuk mempermudah orang lain. Karena menurutku, sikapku yang rumit ini sangat merugikanku dan orang lain. Memang, kan?

Namun, ada seseorang yang berpikir sebaliknya. Who's gonna accept your true colors?

Siapa yang akan menerimaku ketika aku sudah tidak sanggup untuk tampil baik-baik saja. Ibarat aku jatuh ke dalam sumur, siapa yang akan menarikku dari dasar ketika sudah jatuh terlalu dalam? Boro-boro ditarik, mungkin tidak ada yang mendengar bahwa aku sedang berteriak minta tolong.

Who's gonna stick with me till the end?

Benar saja, aku melakukan apapun agar semua orang tetap tinggal. Aku bahkan mengikis diriku perlahan-lahan tanpa kusadari. Ya memang kenapa? Yang penting kan mereka tidak pergi. Tapi bukankah kunci dari -datang dan pergi- tergantung pada penerimaan? Akankah mereka yang bersamaku sekarang dapat menerima segala kerumitanku kelak? Bagaimana bisa menerima kalau tidak pernah tahu? Harusnya aku sadar bahwa orang-orang yang pergi mungkin tempatnya bukan di sisiku. Tapi kenapa pergi? Padahal, kan, aku sudah mengusahakan yang terbaik? Memang kepada siapa aku berbuat baik?

Untuk siapa aku berbuat baik?

Lagi-lagi mengalami kesalahan berpikir. Sejak kapan aku meyakini bahwa berbuat baik untuk orang lain adalah jawaban yang paling akurat? Bagaimana dengan diriku sendiri? Apa aku sudah jadi baik untuk diri sendiri sampai-sampai harus jadi baik untuk orang lain? Aku hanya perlu menjadi diriku sendiri, demi diriku sendiri.

Mencintai diriku sendiri sehingga orang lain juga akan mencintai segala aspek di dalam diriku dengan sendirinya.


---


Aku mengakhiri tulisan ini dengan menghela nafas panjang yang lega! Rasanya tidak hanya pikiranku saja yang mulai sederhana, kepingan di dalam diriku pun mulai kembali menyatu. Lagi-lagi perlu berterima kasih kepada seseorang. Meski tidak bisa menunjukkannya secara langsung, tapi aku sangat memaknai kehadirannya di hidupku sekarang. Semoga Tuhan selalu menjagamu, ya.

Semoga kelak Tuhan berbaik hati mempertemukan.



Jika kau lihat tangisku pecah,
itu bukan berarti aku sedang meratapi hidup.
Terkadang itu bentuk bahwa aku sangat bersyukur,
masih terus dipertemukan dengan orang-orang baik.

Jika kau dengar tangisku pecah,
terkadang itu berisi harapanku kepada Tuhan
untuk membantuku mempertahankan orang-orang baik
dan berharap bahwa aku juga baik untuk mereka.

Jika kau ada saat tangisku pecah,
berarti aku sepenuhnya percaya bahwa kau
tidak akan menghakimi, apalagi memberi tatapan iba.
Kau ada untuk mendengarkan dan mengerti tanpa kata.

Cukup bagiku.

Masalahnya adalah tangisku hanya pecah saat aku sendiri.

Garis Perbatasan


Pernahkah aku bercerita bahwa aku membenci beberapa aspek dalam diriku?
Terkesan kejam, tapi tidak mampu untuk kubantah.
Aku mungkin berkali-kali sangat mencintai diriku sendiri,
tetapi ada satu waktu aku jatuh membenci diriku sangat dalam.

Bagaimana, ya, mengatakannya?
Ada kalanya hal-hal yang kubenci menguntungkanku.
Contohnya, aku benci membuat orang tidak nyaman padaku.
Maka aku akan mencari berbagai cara agar mereka tidak perlu repot beradaptasi denganku.

Tapi tidak semua hal yang kubenci menguntungkan.
Hal-hal itu hampir sulit untuk kuungkapkan.
Aku jadi mengubur diriku sendiri terlalu dalam.
Ingin menggalinya, tapi sudah tidak sempat.

Dan siapa pula yang mau tahu?

Memang, memendam sesuatu terlalu lama itu tidak baik.
Apalagi sesuatu yang memang harus di-release.
Tapi rasanya kali ini sudah berbaur menjadi satu.
Menjadi aku.

Kini aku sedang tidak nyaman, harus diungkapkan.
Meski hanya mengutarakan di sini, bukan berarti sia-sia, kan.
Ternyata aku bisa kalah juga dengan ego ku.
Ini juga salah satu yang kubenci dari diriku.

Ya, begini contohnya.
Aku benci sesekali takut mengungkapkan hal-hal yang ingin sekali kuutarakan.
Seakan-akan aku mampu menjawab segala pertanyaan dalam otak ku.
Tanpa perlu bertanya pada siapapun.

Lagipula siapa yang bisa memberi jawaban?

Aku benci terkadang diam saja meski tahu apa yang harus kulakukan.
Sudah tercetus di pikiran, tapi memulainya dengan penuh ragu.
Aku benci terlalu banyak berpikir sesuatu yang mungkin belum tentu terjadi.
Berputar-putar terus saja, seringkali ditepis, lalu datang lagi.

Aku benci pada akhirnya tidak mampu mempertahankan semua orang.
Meski terkadang kepergian mereka bukan tanggung jawabku.
Beberapa orang justru tidak tahu diri ketika dipertahankan.
Ya bagaimana lagi? Tuhan memang menggariskannya demikian.

Aku juga benci jika sudah percaya terlalu dalam.
Mungkin memupuk rasa percayanya tidaklah singkat,
tapi jika sudah terpupuk, bisa jadi terlalu dalam.
Kalau kecewa, sehancur apa?

Aku paling benci saat memaafkan terlalu mudah.
Mungkin memaafkannya tidak cepat, tapi masih terhitung mudah.
Padahal ini berita baik! Bukankah bagus kalau mudah memaafkan?
Meski butuh pertimbangan seribu kali menerima mereka kembali di hidupku.

Aku benci di satu sisi aku bisa sangat tidak peduli,
kepada mereka yang terbukti memperlakukanku dengan buruk.
Tapi di sisi lain aku bisa sangat peduli,
kepada mereka yang mungkin bisa meninggalkanku sewaktu-waktu.

Lagi-lagi bicara tentang meninggalkan dan ditinggalkan.

Aku benci mengakui bahwa aku masih merasa takut kehilangan,
siapapun yang punya makna di hidupku.
Karena sebesar aku memaknai mereka,
sebesar itu pula rasa takutku hadir.

Terkadang aku benci harus mengakui bahwa aku tidak setangguh itu.

Aku benci jika sudah berdiri di garis perbatasan dalam diriku.


---


[p.s: akan kutambahkan sewaktu-waktu ketika aku membenci hal lainnya yang mungkin akan kutemukan lagi.]