May 5, 2017

I'm (Not) Okay.


How to feel okay?

Sebuah pertanyaan yang berlarian di kepalaku, menuntut jawaban. Aku terdesak. Bukan karena aku butuh terlihat baik-baik saja. Semua orang mudah memperlihatkannya, bukan? Yang kau lihat tertawa setiap pagi, bukan tidak mungkin ia tenggelam dalam tangisan di malam hari. 

Aku terdesak untuk merasa baik-baik saja. Bahkan aku mempertanyakan, bagaimana caranya? Karena akhir-akhir ini aku sangat kesulitan untuk merasa baik-baik saja. Parahnya, aku lebih memikirkan keadaan orang lain ketimbang diriku sendiri. 

Berawal dari kesadaranku tentang 'aku yang rumit'. Berkali-kali aku mencari tahu, bagaimana menyederhanakan pikiranku? Terlalu rumit untuk sekedar dipahami. Hingga aku sadar, mungkin hal itu justru menyakiti orang-orang disekitarku. Aku tidak mau mereka ikut-ikutan rumit memahamiku. Akhirnya, aku memutuskan untuk tampil 'sederhana'. Mereka tidak perlu kesulitan untuk memahami kerumitanku. Mereka tidak perlu tahu bahwa aku adalah seseorang yang sangat cemas. Tidak perlu tahu bahwa aku sangat pemikir. Bukankah aku sedang mempermudah orang-orang untuk menyayangiku?

Nyatanya, mereka menjadi angkuh, tidak mau tahu. Tidak perduli? Toh, Sarah yang selama ini mereka kenal bukanlah seseorang yang kacau. Ya, kan? Bukankah selama ini baik-baik saja? Aku menutupi rasa cemasku, tidak ingin mengungkapkannya. Untuk apa? Bisa-bisa mereka pergi menjauh karena terlalu pusing mengertiku. Memikirkan hidup masing-masing saja sudah susah, apalagi untuk memahamiku. Namun, rasanya seperti tidak ada yang mau perduli. Tidak ada yang mau tahu bahwa aku ingin merasa baik-baik saja. Apakah jika aku terlihat baik-baik saja, maka aku tidak perlu diperdulikan? Apakah aku tidak boleh merasa ingin diperdulikan? Apakah permintaanku kepada Tuhan terlalu muluk? Meminta setidaknya ada satu orang saja mau memperdulikanku.

Kata orang, berlaku baiklah, maka kebaikan akan datang kepadamu. Fakta kah? Membuatku mempertanyakan, apakah aku kurang perduli terhadap orang lain? Apakah aku tidak pantas mendapatkan timbal balik? Ataukah memang hanya aku saja yang membuang-buang waktu memikirkan orang lain, disaat orang lain hanya mempunyai waktu untuk memikirkan diri mereka sendiri.

Tetapi, aku tetap bersyukur. Setidaknya Tuhan selalu perduli. Membuatku semakin dekat dengan Tuhan. Rasa hampa ini justru tidak membuatku membenci Tuhan. Aku percaya Tuhan selalu mendengar umatNya. Seberapa pun sulit keadaannya, aku tahu Tuhan selalu memelukku dari atas sana.

I just want to be saved.