July 17, 2019

Describing You


"

Aku tidak bisa memahami cara kerja "kebetulan".
yang aku tahu, sesuatu selalu diatur sedemikian rupa.
Manusia hanya mampu menjalani dan mengusahakan,
menebak-nebak apa yang akan terjadi selanjutnya.

"


Bertemu dengannya tidak bisa kuanggap sebagai kebetulan.
Kalau bisa digambarkan, lebih condong ke rasa syukur.
Seperti rasa syukur akan orang-orang bermakna di hidupku.
Tetapi dia menempati ruang yang lebih khusus.
Ruang yang tidak dengan mudah kubiarkan orang masuk.

Dia datang tepat pada waktunya.
Saat luka sudah terlalu lama dibiarkan menganga.
Saat tidak ada tempat untuk merasa lebih baik.
Saat hati tidak ingin lagi terusik hingga terasa mati.
Saat aku terlalu lupa mencintai diriku sendiri. 

Dia datang dengan tawa yang hangat.
Sifat yang mudah ditemukan di manapun,
tapi pribadi yang jarang ditemukan dalam diri setiap orang.
Tidak semua orang bisa melihat ke dalam dirinya.
Tidak semua orang bisa merasakannya.

Dia seperti tidak asing bagiku.
Seperti melihat sosoknya dalam diriku beberapa tahun lalu.
Aku merasa sangat dekat dengan tawanya, lukanya.
Tanpa kusadari semakin mengenalnya,
semakin aku ingin ada untuknya.

Aku menikmati setiap detiknya ku-
menyukai tawa hangatnya,
memahami kesedihannya,
mengagumi karakternya,
dan mensyukuri kehadirannya.

Aku bisa leluasa menyukainya,
tanpa perlu mengurangi rasa suka kepada diriku sendiri.
Aku bisa menikmati waktu dengannya,
tanpa perlu takut kehilangan diriku sendiri.
Aku bisa tenang melepasnya,
tanpa perlu khawatir dia akan menghilang.

Rasanya seperti selalu yakin kami akan kembali.
Sejauh apapun kaki kami berlari,
selama apapun waktu yang kami butuhkan,
aku selalu percaya kami akan
saling kembali ke tempat semula.

Aku tidak berbohong jika yang paling kuinginkan adalah
mampu berada di sisinya kapanpun dia butuh,
saling membagi tawa dan kesedihan tanpa perlu meragu,
menyaksikan setiap momen yang berarti untuknya.
Aku tidak berbohong jika aku ingin sekali.

Dia membuatku merasa bahwa pertama kalinya
ada orang yang pantas untuk diperjuangkan.
Meski terkadang jalannya terasa tidak mudah,
tapi aku tahu semakin tekun merawatnya,
semakin menuai hasil yang indah.

Dia menjadi satu-satunya yang berkata,
"jadilah baik untuk dirimu sendiri."
Tidak butuh waktu lama untuk sadar
bahwa aku ternyata menantikan sosoknya.
Sosok yang kukira tidak akan kutemukan.

sosok yang paling singkat membuatku jatuh, tetapi yang paling dalam memahamiku.

Aku sangat tahu bahwa
tidak ada yang mampu
menjanjikan apapun di dunia ini.
Tapi jika diizinkan berharap,
semoga langkah kaki kami, akan tetap selaras.

...dan semoga kali ini Tuhan membiarkanku benar.


July 4, 2019

Suicidal Thoughts Are Real


Aku dulu selalu berpikir bahwa orang-orang yang memiliki keinginan untuk membuang hidupnya adalah manusia terbodoh yang pernah ada. Bahkan rasanya aku ingin memaki, yang mereka lakukan buruk sekali. Saking tidak habis pikirnya sampai aku tidak perduli dengan mereka. Iya, meski aku mempelajari ilmu psikologi, tapi aku menjadi salah satu dari sekian yang tidak respect dengan orang-orang yang berkeinginan untuk bunuh diri. Bagaimana tidak? Hidup cuma sekali bagaimana kamu menyia-nyiakannya dengan mudah. Tidak pernah terlintas di otakku untuk membuang hidup, bahkan secara cuma-cuma seperti itu.

Tidak kusangka aku termakan dengan omonganku sendiri. Aku, menjadi salah satu dari mereka. Awalnya keinginan itu tidak terasa kuat, atau mungkin tidak kugubris. Tapi muncul satu waktu, disaat aku benar-benar kehilangan arah, aku ingin sekali mengakhiri segala hal. Rasanya? Letih sekali, mentalku seperti terkuras habis. Tapi aku jauh lebih letih hidup dengan ketakutanku, amarahku, kesedihanku. 

Orang-orang yang kusayangi adalah energi bagiku. Aku senang sekali berada diantara orang-orang. Aku menyukai suasana yang hidup, kalau bisa aku yang selalu menghidupkannya. Saat mereka tidak ada? Aku merasa seperti benar-benar sendirian. Segala pikiran jahat menguasaiku. Apa mereka masih menyayangiku? Apa mereka membutuhkanku? Kalau aku tidak ada apa mereka baik-baik saja? Kalaupun aku ada memang aku sudah sebaik apa? Aku selalu merasa tidak cukup baik untuk semua orang. Tentu saja ini hanya ada di kepalaku, orang lain tidak boleh tau. Sialnya, aku makin merasa sendirian, karena orang tidak tau. 

Akhirnya aku mulai menarik diri dari mereka. Berharap bisa menemukan diriku lagi. Tapi aku justru semakin menjauh. Keinginannya semakin meledak-ledak. Di pikiranku hanyalah bayangan tentang seberapa menenangkannya jika aku pergi. Aku tidak perlu merasa letih, tidak perlu khawatir jika diriku tidak cukup, tidak perlu berpikir rumit, tidak perlu mengecewakan orang lain. Ingin bertemu Mama, ini juga semakin menguatkan keinginanku.

Aku tidak melukai diriku sendiri, aku merasa sudah terluka dengan pikiranku selama aku hidup. Beberapa hari sebelum itu, aku mengonsumsi obat tidur secara rutin setiap malam untuk menenangkan pikiranku. Tapi sepertinya lama-lama menjadi kebal dan menuntut dosis lebih. Aku hendak menggunakannya untuk ini. Karena aku hanya ingin merasa tenang lebih panjang. Aku semakin menggebu-gebu, berpikir tentang cara lain seperti mengikatkan diri ke tali dan sebagainya. Aku benar-benar menghabiskan hariku untuk menangis, menghilangkan diri dari orang-orang. Toh, mereka pasti berpikir aku baik-baik saja.

Hingga akhirnya hari itu, aku merasa ingin sekali menghubungi satu orang. Di saat pikiranku kalang kabut bersamaan dengan angan betapa indahnya membayangkan tidur yang panjang, aku memberanikan diri. Sampai akhirnya aku sadar, ternyata ada yang perduli. Ada yang menginginkanku untuk tetap bertahan hidup. Ada yang membutuhkanku meski hanya sekadar "ada". Akupun mengurungkan niat di hari itu, berpikir bahwa mungkin akan kulakukan lain kali. Tetapi lagi-lagi aku diselamatkan.

Tanganku digapai ketika hampir tenggelam terlalu dalam.

Setelah hari itu aku sangat bertekad untuk melawan segala keinginan itu. Aku ingin hidup lebih panjang dan hadir untuk orang-orang yang kusayangi. Aku ingin lebih menikmatinya. Aku ingin menebak apa yang akan terjadi di depan. Tapi tidak semudah itu melepaskannya. Aku masih menjalani hari-hari penuh kebimbangan. Aku seperti mendengar suara yang menyuruhku untuk kembali memikirkan niat sebelumnya. Ketika tidur, aku memimpikan hal-hal ganjil seperti ada yang menginginkanku untuk tetap melakukannya. Tapi semua berangsur membaik seiring dengan bantuan dari orang-orang disekitarku, usahaku mengontrol pikiranku, dan tentunya dengan pertolongan dari Tuhan.

Aku ingin dan akan hidup lebih panjang.

Setidaknya aku bersyukur, dengan begini aku jadi memahami mereka yang merasa putus asa dengan hidup. Betapa mereka sangat membutuhkan dukungan, atau minimal kehadiran orang lain di sisi mereka. Saat itu aku merasa sangat kalut ketika sendirian, mungkin jika satu orang tadi tidak "menyelamatkanku", aku tetap ada pikiran itu sampai sekarang. Satu hal yang kuketahui, orang-orang yang memiliki keinginan untuk bunuh diri bukan berarti tidak tau resiko, tidak belajar agama, tidak ber-otak, dan sebagainya. Mereka jelas tau, bahkan mungkin itu hal-hal yang paling mereka pahami. Tetapi mereka juga sangat tau, bahwa rasa putus asa dan letihnya jauh melebihi itu semua.

[June 14, 2019]