Showing posts with label me. Show all posts
Showing posts with label me. Show all posts

September 11, 2017

| I'm Done |


I'm done enough
forgiving anyone.
I'm done treating them
way better than they did.

I tried to be fine,
yet they broke me down.
I kept standing on my own,
yet they kept destroying me.

So I promise myself,
I'm done enough.      

Sarah Diza
 

May 12, 2016

| The Darkness |


She's busy,
searching for the answer of
many questions that filling her mind.

Then,
she ignores people
who wondered if
she's already lost
inside her own mind.

It's too dark,
she'll never know
what kind of place
she has been living.

She tries to go
but she can't find 
the way out.

Because the darkness
is inside herself.

Sarah Diza

March 28, 2014

Menjadi Fleksibel Itu (Tidak) Mudah

Kata mayoritas orang, menjadi pribadi yang fleksibel itu menyedihkan bahkan ada yang bilang memprihatinkan. Karena, secara nggak langsung, kita menjadi penikmat sepi. Mungkin saya adalah salah satu dari mereka yang menikmati sepi. Yup, saya memutuskan untuk menjadi fleksibel setelah saya cukup muak dengan omong kosong mereka yang bertopeng. Mereka yang memakai topeng saat bertemu saya, memperlihatkan seakan-akan semua baik-baik saja, tetapi setelah mereka pergi, mereka melepas topeng mereka, kemudian berkoar-koar tentang saya. Kejadiannya cukup lama, sampai saya tidak ingat jelasnya kapan, tetapi saya sangat menikmati menjadi orang yang fleksibel. Dan menjadi fleksibel sama sekali nggak menyedihkan.

Mereka bilang, sih, orang fleksibel itu kasihan, nggak punya teman tetap. Oh, ya? Lantas apakah yang mereka artikan teman tetap adalah mereka yang bergerombol, hingga membentuk geng? Malah setahu saya, mereka yang bergerombol, yang menunjukkan solidaritas mereka yang selalu bersama-sama, adalah yang memakai topeng. Nggak jarang kebanyakan dari mereka membenci satu sama lain, membicarakan perilaku sahabat mereka ke sahabat yang lain dalam satu geng. Parahnya, mereka juga ngadu kelakuan sahabatnya ke ‘orang lain’. Emang kadang semua yang terlihat, nggak seperti apa yang dibayangin. Mereka yang solid, seperti sahabat yang udah berkomitmen, malah saling membicarakan. Saya, sih, ketawa aja dalam hati. Katanya temen? Hahaha.

Saya suka menjadi fleksibel. Saya nggak perlu mengurusi masalah orang lain. Bukannya saya nggak peduli, jelas saya masih peduli, but sometimes we have our own privacy. Jadi, kalau ada teman saya yang menangis, kadang saya membiarkan. Karena, kalau saya yang ada diposisinya, yang saya pingin cuma sendiri. Nggak cuma itu, saya bisa berteman dengan siapa saja, nggak perlu memihak si A atau si B, netral aja. Buat apa ikut-ikutan masalah orang lain? Bikin pikiran makin sumpek. Saya terbiasa menikmati sepi dan berpikir tentang banyak hal, karena saya mencoba meluangkan waktu untuk diri saya sendiri. ‘Cause there’s nobody understands you but yourself. Kamu satu-satunya yang bisa mengerti dirimu sendiri. Untuk apa menuntut orang lain untuk mengerti? Seperti kita sudah jago mengerti diri sendiri saja.

Tapi, menjadi fleksibel nggak semudah kelihatannya. Yang namanya hidup jelas ada cobaannya. Justru seharusnya bersyukur kalau dikasih cobaan. Berarti Tuhan masih sayang, masih yakin kalau kita nggak se-lemah apa yang kita pikir. Orang fleksibel kalau punya masalah memang dihadapi sendiri, maju aja. Kalau yang punya geng? Serasa mau tawuran aja. Satu temen doang yang kena masalah, yang maju bisa 4-5 orang. Padahal nggak tahu pokok permasalahannya, nggak tahu temen yang dibela emang bener atau malah salah. Hehe. Saya, sih, disini bukan mau menjelek-jelekkan mereka yang nge-geng, toh, masih banyak mereka yang tahu mana positif, mana negatif. Cuma mau saran aja, lain kali menyikapi sesuatu secara dewasa, bukan sok dewasa.

Gitu aja, sih. Saya lagi pingin memperjelas aja kalau jadi fleksibel emang nggak mudah. Tapi, mereka yang fleksibel nggak se-lemah yang orang lain pikir, bahkan bisa jadi lebih kuat, meleset dari ekspektasi banyak orang. Fleksibel bukan berarti menutup diri untuk punya teman tetap. Tetapi punya teman tetap bisa menggiring kita menjadi anti-sosial. Lagipula, kita juga cukup dewasa, kok, untuk bisa pilih mana yang bener dan mana yang salah. Menurut saya, seiring waktu berjalan, semakin banyak hal-hal yang kamu perjuangin, dan seberapa sering kamu jatuh, disitu waktu yang tepat untuk memilih mana temen ‘asli’ kamu yang mungkin bisa dihitung pakai satu jari tangan.

October 16, 2013

Takut?


Pernah nggak, sih, membayangkan bagaimana indahnya hidup, tanpa perlu merasa ketakutan? Aku sering membayangkannya. Berulang kali malah. Rasanya pasti tidak ada beban. Aku sering merasa ketakutan. Terutama ketakutan akan kehilangan orang-orang. Aneh memang, padahal sebenarnya orang-orang tidak sepenuhnya pergi dari kehidupan kita.

Aku selalu takut. Kalian takut, nggak? Kalau tiba-tiba orang yang selama ini menemani kamu, selalu ada untukmu, membagi ceritanya denganmu, pergi? Bagaimana kalo sesaat dia datang dan beberapa waktu kemudian dia menghilang? Seperti tidak ada yang benar-benar menjanjikan bahwa mereka tidak akan pergi.

Aku butuh orang yang menjanjikanku bahwa mereka tidak akan pergi. Aku selalu merasa kacau dengan pikiranku, bagaimana jika orang-orang malah meninggalkanku karena aku terlalu sibuk menahan mereka?

Awalnya, kupikir aku hanya bisa melihat orang-orang pergi dan tidak bisa berbuat apa-apa. Dan ternyata, aku salah. Seorang teman menyadarkanku, kurang lebih dia berkata seperti ini;

Yang pergi itu pasti kembali. Kalau yang hilang, itu yang harus dicari.

Then, I realized. Aku masih bisa mempertahankan orang-orang untuk tetap tinggal. Pada awalnya, aku tidak sepenuhnya percaya dengan kata-kata itu. Hingga akhirnya, aku mencari salah satu orang yang –menurutku- pergi. Dan ternyata, dia kembali. Lalu, aku menyuruhnya untuk tidak pergi. Yah, sekedar memberitahunya bahwa aku benar-benar membutuhkannya. Aku membutuhkan orang-orang yang berada disekitarku. Aku butuh mereka meyakinkanku bahwa mereka tidak akan meninggalkanku. Karena aku butuh mereka, se simple itu.

September 1, 2013

Because everyone leaves.


Hai, sepertinya sudah terlalu lama aku tidak berbagi disini. Bukannya aku tidak punya waktu atau sok menyibukkan diri, tapi karena mungkin aku terlalu memendamnya sendirian. Akhir-akhir ini, aku sering sekali memikirkan keadaan orang-orang di sekitarku. Ya, aku memikirkan mereka, sangat memikirkan mereka. Even when I know that they won’t do the same thing, well it sounds stupid lol. Aku memang terlalu menyia-nyiakan waktuku ini untuk berpikir tentang orang-orang. Rasanya takut sekali kehilangan mereka. Hampir setiap malam aku selalu berpikir hal sekonyol ini. Aku meragukan mereka akan tetap tinggal. Everyone leaves, right?

Kita tidak bisa, kan, melarang ataupun memaksa mereka untuk tetap ada. Iya, iya, aku tau. Aku tau, aku telah membahas hal ini beratus-ratus kali di dalam otakku. Sering terjadi khayalan pada pikiranku. Bagaimana mereka membuatku tertawa, sampai bagaimana nanti mereka akan pergi. Kalau boleh jujur, sih, aku takut sekali mereka pergi. Semakin banyak orang yang masuk ke dalam kehidupanku, semakin takut juga aku kehilangan mereka satu persatu. Memang, sih, aku juga pasti pernah pergi dari kehidupan orang lain. Dan merasakan berada di posisi takut kehilangan itu ironis.

Aku berharap aku tidak egois kalau aku meminta mereka semua untuk tidak pergi. Nyatanya? Aku terlalu egois. Aku tidak berhak, bukan? Aku hanya sekedar takut, ya, kan? Biasanya, sih, ketakutan kalau dipikirkan terus akan jadi kenyataan. Kuharap kali ini Tuhan tidak mengabulkan ketakutanku. Bagaimana jadinya kalau semua yang ada di dalam pikiranku saat ini menjadi kenyataan. Aku belum siap kehilangan mereka semua. Aku belum siap kehilangan lagi. Karena melihat orang-orang pergi itu menyedihkan, rasanya seperti ada yang hilang, dan hampa.

Aku berusaha untuk berpikir kalau semisal orang-orang tersebut memang diperuntukkan untuk aku, pasti Tuhan akan menjaga mereka untukku juga, bukan? Oh, ya, aku baru ingat ketika seorang sahabat berkata padaku, kalau tidak salah begini, “Kan kamu waktu itu bilang, kita ga perlu tau, orang butuh kita atau nggak, yang penting kita ada untuk mereka.” Lucu sebenarnya, aku yang dulu pernah berkata seperti itu malah khawatir seperti ini. Hahaha. Ah, ini hal biasa, kok. Semua orang pasti takut kehilangan, kan?

Anyway, beberapa orang berjanji padaku bahwa mereka tidak akan pernah pergi. Terasa menyenangkan kalau diingat, setidaknya, mereka masih ada selagi aku juga bersama mereka. Oh, aku juga ingat sesuatu, he promised me that he wouldn’t go.. Actually, I couldn’t believe it at all. Everyone will leave, sooner or later. But, if he means it, he won’t break his promise. And I swear, I’ll try to be there for everyone.

Hey, thanks for making me feel like I’m not that totally alone.

June 16, 2013

Actually, I wish I did exist.


Sepertinya aku sudah terlalu lama tenggelam dalam kenyataan, hingga rasanya mau kembali bermimpi saja sangat susah. Kabar baiknya, bisa dibilang semakin lama, semakin membaik. 5 bulan yang lalu ada seseorang yang datang lalu membuat semuanya membaik. I've been feeling better since he came. Dia menyenangkan, sosok pribadi yang baik, dan tidak pernah gagal membuatku tertawa. Sejak awal, aku menyayangi semua orang yang mungkin diperuntukkan untukkku, bagaimanapun keadaan mereka.

Well, aku tau banyak orang di sekelilingku yang bisa membuatku tertawa kapan saja. Tapi aku tidak pernah bisa merasa puas. Aku selalu merasa sendiri, seperti hampa sekali. Mungkin aku memang terlihat baik-baik saja menjalani semuanya, tapi saat aku kembali ke rumah lalu ke kamar, semuanya terasa kosong. Aku sendiri. Mengingat aku hanya anak satu-satunya dalam keluargaku semakin memperburuk semuanya.

Sebenarnya aku pernah memikirkan hal ini dulu, tapi sudah tidak ku gubris lagi. Sampai malam itu, rasanya sudah memuncak dan aku muak. Aku muak karena aku sendiri. Sendiri menghadapi semuanya, sendiri melalui semuanya, dan aku memimpin diriku sendiri. Semua orang yang ada di sekelilingku maupun orangtuaku mungkin hanya menganggap aku ada saja sudah cukup tanpa perlu mengertiku. I know people are too busy with their problems. Sebenarnya, aku tidak pernah mau menuntut semua orang untuk mengerti, aku hanya ingin mereka mendengarkan, memasang telinganya untuk mendengarkanku, mungkin merepotkan, tapi aku hanya ingin mereka tau aku ada.

Beruntung aku punya teman yang bisa dibilang kadang suka merasakan hal yang sama, merasa sendiri. Thanks to you, Azmik. Aku benar-benar melampiaskan semuanya padanya waktu itu, semua yang kuanggap sepele dan tidak pernah kuganggu gugat. Sesuatu yang kuanggap terlalu biasa untuk dibahas sampai akhirnya aku merasa ini selalu berat untuk diingat. Aku hanya merasa semua orang kadang tidak akan pernah benar-benar memahami satu sama lain. I'm feeling terrible. Tapi, setiap aku datang kepada Tuhan, mencoba bertanya dan berbicara padaNya, aku merasa sangat buruk dan hina, aku seperti hanya datang padaNya disaat aku benar-benar merasa tidak sanggup melakukannya sendiri. Aku sangat merasa kacau hingga aku menekan semuanya sejak awal, mencoba terlihat selalu baik-baik saja dan merasa semuanya sangat buruk saat aku merenung di dalam kamar dan aku tidak pernah mampu menahannya.

Aku tau aku sendiri, karena itu aku hanya ingin terlihat menyenangkan bagi semua orang. Walaupun, aku memang tidak bisa terlihat jadi orang yang menyenangkan karena mereka semua bilang, aku terlihat sangat jutek. Tapi, aku tidak harus peduli dengan semua itu, kan? Aku senang melihat orang lain bahagia karenaku. Dan aku ingin semua itu tetap berlanjut. Banyak yang bilang, aku sangat menyeramkan waktu aku tidak mood. Padahal saat itulah aku juga merasa takut semua orang menjauh, meninggalkanku. Aku hanya takut mereka akan datang dan pergi sesuka hati mereka tanpa merasa ada yang berbeda. Tapi, apa yang bisa kulakukan selain melihat mereka melakukannya? Aku berharap aku tetap ada untuk mereka, tetapi aku minta maaf, kalau mungkin aku mengganggu kalian, atau terlihat sangat membutuhkan kalian. Sampai saat ini, belum ada yang bisa membuatku merasa bahwa aku ini ada. And all that I want is somebody who makes me feel that I exist.




PS: Aku membuatnya sendiri. Bagus, tidak? Percaya atau tidak, aku selalu merasa lebih baik setiap membacanya.