March 24, 2019

True Colors


Telah kutemukan jawaban atas pertanyaan yang ada di kepalaku selama ini. Meski belum semuanya terjawab (beberapa hal yang kupertanyakan sempat terlupa), tetapi setidaknya ini adalah hal baik! Perlahan-lahan mulai sadar bahwa aku mungkin salah dalam memahami konsep hidup. Kupikir akulah yang seharusnya tampil sederhana, baik-baik saja, tidak perlu banyak bercerita, apa saja yang penting tidak terlihat rumit. Orang lain tak mengapa, asal aku tidak. Kalau mereka tahu, pasti akan kesulitan memahamiku. 

Nyatanya, aku jadi tidak punya siapapun. 

Bukan berarti aku sendirian, tidak. Banyak sekali orang-orang baik di sekelilingku, tapi aku tidak membagi hidupku dengan mereka. Ada banyak alasan mengapa aku tidak melakukannya; aku tidak mau menambah pikiran mereka, aku tidak ingin menyusahkan, aku takut sudah cerita tapi tidak menemukan jawaban, dan aku juga malu. Malu kalau sebenarnya aku serumit itu untuk sekadar dipahami. Akhirnya kudedikasikan hidupku untuk mempermudah orang lain. Karena menurutku, sikapku yang rumit ini sangat merugikanku dan orang lain. Memang, kan?

Namun, ada seseorang yang berpikir sebaliknya. Who's gonna accept your true colors?

Siapa yang akan menerimaku ketika aku sudah tidak sanggup untuk tampil baik-baik saja. Ibarat aku jatuh ke dalam sumur, siapa yang akan menarikku dari dasar ketika sudah jatuh terlalu dalam? Boro-boro ditarik, mungkin tidak ada yang mendengar bahwa aku sedang berteriak minta tolong.

Who's gonna stick with me till the end?

Benar saja, aku melakukan apapun agar semua orang tetap tinggal. Aku bahkan mengikis diriku perlahan-lahan tanpa kusadari. Ya memang kenapa? Yang penting kan mereka tidak pergi. Tapi bukankah kunci dari -datang dan pergi- tergantung pada penerimaan? Akankah mereka yang bersamaku sekarang dapat menerima segala kerumitanku kelak? Bagaimana bisa menerima kalau tidak pernah tahu? Harusnya aku sadar bahwa orang-orang yang pergi mungkin tempatnya bukan di sisiku. Tapi kenapa pergi? Padahal, kan, aku sudah mengusahakan yang terbaik? Memang kepada siapa aku berbuat baik?

Untuk siapa aku berbuat baik?

Lagi-lagi mengalami kesalahan berpikir. Sejak kapan aku meyakini bahwa berbuat baik untuk orang lain adalah jawaban yang paling akurat? Bagaimana dengan diriku sendiri? Apa aku sudah jadi baik untuk diri sendiri sampai-sampai harus jadi baik untuk orang lain? Aku hanya perlu menjadi diriku sendiri, demi diriku sendiri.

Mencintai diriku sendiri sehingga orang lain juga akan mencintai segala aspek di dalam diriku dengan sendirinya.


---


Aku mengakhiri tulisan ini dengan menghela nafas panjang yang lega! Rasanya tidak hanya pikiranku saja yang mulai sederhana, kepingan di dalam diriku pun mulai kembali menyatu. Lagi-lagi perlu berterima kasih kepada seseorang. Meski tidak bisa menunjukkannya secara langsung, tapi aku sangat memaknai kehadirannya di hidupku sekarang. Semoga Tuhan selalu menjagamu, ya.

Semoga kelak Tuhan berbaik hati mempertemukan.


No comments:

Post a Comment