Aku dengan pikiranku berusaha bekerja sama, sedang berpikir bagaimana, ya, jika kita mengambil keputusan dan ternyata kita salah mengambil langkah? Pasti kalian menjawab dalam hati, “Ya dijadikan pelajaran aja, sih.”
Hingga akhirnya aku mencoba bertanya kepada seorang teman. Mencari petunjuk, mungkin dapat menjadi hal yang bisa aku pertimbangkan. Kemudian, dia menyuruhku untuk memilih salah satu dari ‘Realistis atau Idealis’. Kurang lebih percakapan kami seperti ini:
“Realistis ya realistis. Idealis itu menuruti apa kata maumu,”
“Which one is better according to you?”
“Aku suka realistis. Jadi, aku nggak memaksa. Aku tetap usaha tetapi aku biasa aja,”
“Dimana-mana harus realistis, kan, ya,”
“Nggak juga. Aku kalau masih merasa bisa, ya, memilih idealis. Aku tidak mau mendengar kata orang. Karena, realistis terdengar seperti menyerah. Aku tidak suka menyerah kalau aku masih bisa berdiri,”
“Meskipun kadang idealis bakal menjatuhkanmu? Atau bahkan yang malah membuatmu terpaksa untuk menyerah?”
“Ya. Mending mana, menyerah tetapi sudah usaha, atau menyerah karena apa kata orang?”
Lalu, otakku berusaha mencari jawaban.
Realistis memang perlu. Tetapi, kalau terlalu sering menuruti kenyataan, bagaimana mendapatkan apa yang kamu mau?
Realistis kadang membuat matamu menjadi terbuka, lebih berkawan dengan kenyataan. Tetapi, kebanyakan orang beranggapan bahwa menerima kenyataan itu menyakitkan. Ya, jelas. Kalau kenyataan tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan, pasti akan menambah sesak di dada. Kalau sesuai? Tentu saja kita menerima kenyataan dengan senang hati.
Because reality hurts, sometimes.
Sebaliknya, mungkin idealis terdengar agak egois. Seperti kita memaksakan kehendak kita, tidak perduli dengan kenyataan yang ada. Namun, ternyata idealis itu perlu. Setiap orang pasti mempunyai keinginan yang di cita-citakan, bukan?
Dan seharusnya, realistis dan idealis berjalan seimbang.
Yang kuhadapi saat ini, seperti aku sedang menggenggam sebuah balon di ladang yang luas dan angin bolak-balik menghembuskan nafasnya ke arah kami. Kata orang-orang yang berlalu-lalang didepanku, “Sudah! Lepaskan saja! Toh, kamu akan mendapatkan balon yang lebih bagus setelah pergi dari sana.” Tetapi, aku sudah terlanjur jatuh hati dengan balon ini. Soalnya berbeda, sih. Dan aku memilih untuk idealis. Tidak perduli seberapa banyak orang-orang yang memaksaku.
Namun, sepertinya balon ini juga ingin pergi. Berkelana di udara. Setidaknya melakukan perjalanan, mungkin. Aku sedikit menyerah. Tetapi, rasanya terlalu susah untuk melepaskan genggamanku. Aku saja tidak tahu, sebenarnya balon ini masih ingin kugenggam atau tidak? Lama-kelamaan aku berusaha realistis. Aku melepaskan genggamanku, membiarkannya pergi bersama angin. Apabila kembali, mungkin ia merindukanku. Dan jika tidak, mungkin aku akan menyukai balon yang –berbeda- lainnya. Walaupun, itu tidak akan pernah sama.
Dan aku akan siap menggenggammu lagi, mungkin tidak sekuat dulu, itupun apabila angin berbaik hati membawamu kembali.